Monthly Archives: May 2008

Haruskah kita kenal dia?

Pertanyaan itu juga menggelitikku untuk menulis ini… Jawabanku tegas dan jelas.. “ya, kita harus mengenal calon teman hidup kita”.

Tapi kan agama melarang pacaran?

“Siapa bilang harus pacaran? Mengenal calon teman hidup kita tidak berarti pacaran dulu dengannya…”

Lalu bagaimana caranya?

Ya berkenalan, berkomunikasi.. mencari informasi.. dan yang paling penting, selalu dan selalu berkonsultasilah kepada Allah… dan Allah akan memberikan jawaban kepada kita, mungkin melalui keyakinan dalam hati, atau malah keraguan dalam hati, mungkin melalui pertemuan dengan seorang teman baik dia atau apapun.. jawaban Allah bisa dalam bentuk apapun, tapi yang pasti akan memberikan sinyal kepada kita mengenai jawaban tersebut. Tentu saja, kita harus ikhlas dan pasrah saat berdoa padaNya…

Kalau bicara wilayah kita, maka kewajiban kita adalah berikhtiar.. caranya, ya kenalan dengan dia, dengan keluarganya… berbicara dengannya dan bertanya mengenai prinsip-prinsip hidup pernikahan yang dia ketahui, atau dia yakini…

Berarti bertemu, berdua-dua (telepon juga berdua-dua kan?) dan itu tak boleh dalam agama?

Kalau aku menjelaskan ini dengan mengatakan, semua kembali ke niatnya. Sekadar contoh ekstrem, bukankah kita naek angkot juga kadang harus duduk berdempetan dengan lawan jenis …. bahkan di dalam bus yang penuh sesak, kadang  kita diimpit oleh lawan jenis kita..Bukankah kita tak berniat melakukan apapun, karena tujuan kita naek bus atau naek angkot adalah untuk berangkat kerja atau kuliah.. Kalau bisa memilih, cari bus/angkot yang kosong.. tetapi ketika di perjalanan penumpang bertambah terus.. apakah kita harus turun dan menanti bus/angkot yang kosong? Kapan sampai ke tujuan? Kalo pun kita kemudian sampai ke tujuan, mungkin kita terlambat.. dan kita menemukan kesulitan yang lain di depan kita…

Maksudnya adalah, semua kembali ke niat.. Kalau kita bertelepon untuk berdiskusi dan membatasi diri untuk hanya bicara pada hal-hal yang kita perlukan.., aku rasa boleh-boleh saja….

Satu hal yang pasti.. akhir-akhir ini, makna pacaran memang selalu berhubungan dengan kontak fisik (maaf, berpegangan tangan, berangkulan, duduk berdempetan, dan yang lebih jauh lagi…). Ini yang dimaksudkan dengan mendekati zina… Bertelepon lama-lama, tapi tak jelas yang diobrolkan.. hanya curhat ini dan itu.. tentu saja, itu mubazir..dan mungkin malah berdosa..

Tapi bagaimana kita akan hidup bersama dengan seseorang tanpa kita tahu seperti apa dia.. Bagaimana kalo ternyata kita tidak sreg dengan dia.. bukankah agama juga mengajarkan agar perempuan dan laki-laki melihat calonnya sebelum menikah… dan kita harus menyukainya.. Artinya, jika kita berkenalan dengan seseorang dan kita tak merasa suka padanya, tak ada kewajiban untuk terus melanjutkannya ke jenjang pernikahan..

Di sisi lain, mengenal calon teman hidup kita pun bisa dilakukan secara tidak langsung, jika kita merasa takut tak bisa menahan diri, sehingga melakukan pembicaraan mubazir…maka mengenal calon teman hidup kita, bisa dilakukan dengan tidak langsung. Bertanya pada keluarganya, temannya atau saudaranya..

Hanya saja, menurut pendapatku, akan lebih baik jika kita mengenalnya secara langsung sebab pandapat orang lain – meskipun orangtuanya sendiri – kadang subjektif. Tapi setiap orang punya pemahaman dan pengertian yang berbeda-beda.., jadi pilihlah cara yang paling sreg dengan hati kita…

Poinnya adalah, jangan membeli kucing dalam karung.. Toh kita juga berhak memilih selama dilakukan dengan cara yang santun, pada tempatnya dan tidak melanggar aturan.

Wallahu alam..

 

 

Untuk apa menikah?

Pertanyaan itu kembali mengemuka, untuk kesekian kalinya saat aku berbincang dengan seorang teman. Aku katakan padanya, menikah bukan karena malu “belum juga laku” padahal cantik atau ganteng… menikah bukan karena kita ingin ada yang melayani kita (untuk cowok), atau ada yang menjamin kehidupan ekonomi kita (untuk cewek)…

Menikah juga bukan karena kasihan pada orangtua yang sudah tua, orangtua yang terus bertanya,”nak, kapan mau beri cucu untuk ibu dan bapak?’’

Sama sekali bukan itu..

 

Menikahlah karena ingin menyempurnakan ibadah kepadaNya, menikahlah dengan niat menggapai keridhoan Allah SWT… sehingga kita lebih mudah saat menentukan criteria belahan jiwa yang kita cari…

terlalu di awang-awang? Enggak juga… niatkan untuk ibadah, dan berdoalah terus kepadaNya dengan seluruh prasangka baik… kemudian, saat bertemu seseorang yang bikin hati dag-dig-dug berdoalah memohon petunjukNya.. apakah dia memang yang terbaik yang dikirim untuk kita, atau bukan..

Di sini, ujian akan terasa berat jika kita tak ikhlas.. bagaimana tidak? Kita bertemu seseorang yang menggetarkan hati, dan berharap dia adalah “the one” untuk kita, tapi ternyata saat berdoa, kita menyadari bahwa dia semakin jauh.. semakin nampak keburukan dia di mata kita.. dan kita menolak fakta itu..

Sebenarnya, ketika hal tersebut terjadi, Allah sedang menjawab doa kita, bahwa dia bukanlah yang terbaik untuk kita.. tapi itu tadi, kita memaksakan keinginan kita dan menganggap pilihan kita lebih baik, kita merasa paling tahu yang terbaik untuk diri kita padahal sesungguhnya, kita tak tahu apa-apa..

Kalau kita tetap memaksakan kehendak kita, dengan mengatakan bahwa keburukan dia yang kita lihat saat ini akan kita ubah pelan-pelan kelak dalam pernikahan, maka kita mengabaikan tanda-tanda yang diberikanNya…

Mungkin kita bertanya, kalau setiap kali tidak juga cocok atau kita tidak juga menemukan si belahan jiwa itu, jangan-jangan kita terlalu pemilih.. jangan-jangan, nanti kita keburu tua dan tidak juga menikah… Kekhawatiran itu tak perlu muncul sebab kita sudah mempercayakannya kepada Allah.. itu artinya kita yakin bahwa Allah akan mempertemukan kita dengan orang yang terbaik untuk kita, di saat yang tepat sesuai ketentuan Allah..

Tugas kita hanyalah berusaha, berikhtiar.. sementara hasil adalah hak prerogative Allah. Aku bisa mengatakan ini sebab aku mengalaminya… Hingga bulan Maret 2007, aku tak tahu kapan aku akan menikah, sebab aku memang tak tahu..aku juga tak punya seorang teman dekat, atau kenalan lelaki yang berniat menikah…

Tapi April, aku berkenalan dengan seorang lelaki, yang tiga bulan kemudian menikah denganku… Seminggu berkenalan, aku mengatakan padanya, jika mau serius, mari kita lanjutkan diskusi… tetapi jika tidak, kita berteman saja.. aku tak mau pacaran..jadi kalo serius, mari membicarakan hal-hal serius dalam persiapan pernikahan..dan dia setuju..

Faktanya, kami berdua masing-masing berdoa kepada Allah, memohon petunjuk yang terbaik.. dan ternyata, Allah memudahkan..

Segala yang kemarin-kemarin begitu sulit, tiba-tiba menjadi mudah sekali… jalan seolah terbuka lebar.. dan segala urusan bisa diselesaikan.. mulai dari mengumpulkan uang untuk biaya pernikahan, hingga proses mencari rumah kontrakan yang seringkali tak mudah.

Sebelumnya, tak pernah terbayangkan, begitu mudahnya bertemu belahan jiwa.. padahal bertahun-tahun aku menantinya.. Sebelumnya tak pernah terbayangkan, ternyata mempersiapkan pernikahan itu begitu mudah…

Satu hal yang aku sadari kemudian, ketika kita menyerahkan segala urusan kita hanya kepada Allah, sementara kita berada di wilayah ikhtiar tanpa keinginan yang muluk-muluk bahkan nyaris tanpa keinginan, Allah memberikan jawabanNya…

Jadi, mulailah rencana pernikahan dengan niat.. tentu saja dengan niat baik untuk beribadah kepadaNya, wallahu alam.

menanti buah hati

”saya sudah sampai pada posisi cuek sekarang ini kalo ditanya, ‘udah isi belum’,” kata teman saya suatu ketika..aku tersenyum mendengarnya..

dia sudah menikah lebih dari setahun, istrinya keluar dari pekerjaan (untuk sebuah alasan) dan hingga kini mereka belum dikaruniai anak… dan lazimnya budaya di negeri ini, mempunyai anak adalah sebuah kebanggaan..

karena itu, kalo ada pasangan menikah yang belum punya anak, pasti akan ditanya terus.. kemudian sebagian menyarankan ini dan itu, sebagian yang lain memandang kasihan..

saat ini, aku dan suamiku juga menanti kehadiran buah hati.. meskipun belum ada tanda-tanda sama sekali.. tetapi setiap kali kami berbincang mengenai hal tersebut, kami berdua selalu saling mengingatkan bahwa “ini bukan tujuan utama pernikahan kami”..

karena itu, kami berdua selalu saling mendukung.. kami berdua juga jadi lebih santai.. aku selalu mengatakan bahwa “kalo dikasih, alhamdulillah.. kalo belum, ya alhamdulillah juga.. Allah maha tahu yang terbaik bagi kita”

bukannya tak ingin.. tapi buat apa ngoyo? ikhtiar itu wajib hukumnya, tapi soal hasil, itu hak prerogatif Allah saja. kita sama sekali tak berhak ikut campur..

apalagi, aku sudah mengalami yang namanya penantian panjang.. untuk seorang belahan jiwa.. ketika akhirnya aku bertemu dengan kekasih hati, aku tahu bahwa inilah saat yang terbaik.. makanya, ketika 10 bulan berlalu sejak pernikahan kami, dan aku belum juga menunjukkan tanda-tanda hamil.. kenapa harus jadi sedih? rahmat dan berkah Allah meliputi banyak hal, dan itu semua patut disyukuri..

jadi, tak perlu terpaku pada satu hal (belum dikaruniai anak) ketika di sekeliling kita berlimpah berkah dan rahmatNya..

menanti buah hati?

iyalah.. menanti dengan cara yang bijak.. dengan cara yang dicintaiNya.. 😀

transfer keyakinan

suatu ketika dalam hidup kita, ada pengalaman yang begitu menghujam dalam hati kita… ada masalah yang begitu sulit, yang begitu membuat kita tak berdaya..

lalu kita merasakan, tak ada kekuatan apapun dalam diri kita, dan kita hanya bisa pasrah kepadaNya, hanya bisa mengadu kepada Allah SWT, hanya bisa menangis…

tiba-tiba, kita merasakan pertolonganNya begitu mudah… sesuatu yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. tiba-tiba, masalah yang berat itu menjadi sangat ringan.. seolah semuanya bisa diselesaikan dengan gampang..

beban itu tiba-tiba menghilang..

apakah itu benar tiba-tiba? sama sekali tidak..

kita mengalami itu, sebab kita memang meminta kepadaNya… memohon dengan penuh harap dan Dia menyukai hambaNya yang memohon kepadaNya…

kemudian, kita tahu dan menyadari bahwa pertolongan Allah itu ada…dan dekat.. pertolongan Allah itu bukan suatu yang sulit, asalkan kita memintanya dengan sungguh-sungguh..

Persoalannya, kita kerap lupa.. kita kerap abai dengan hal tersebut. Namun sekali kita mengalami hal yang dahsyat dalam hidup kita, dan kita merasakan pertolonganNya, hal tersebut insya Allah akan menguatkan keyakinan kita selanjutnya..

Kita akan jadi lebih memahami bahwa “mengadulah kepada Allah” bukan suatu omong kosong..

sayangnya, pengalaman seperti itu tak banyak yang merenunginya.. dan sayangnya, keyakinan itu tak bisa ditransfer.. setiap orang harus mengalaminya sendiri, biasalah.. kita tak begitu suka belajar dari orang lain.. kalo udah mengalaminya sendiri, baru deh merasakan..

tapi kalau kita ingin biaya yang “lebih murah” sebenarnya kita bisa mencerna pengalaman orang lain, memikirkannya, merenungkannya…menafakurinya…

tapi itu tadi, keyakinan tidak bisa ditransfer.. makanya kita musti mencarinya sendiri.. wallahu alam

 

(tak bisa) menghapus jejak…

jadi inget judul lagu yang dibawakan ariel peterpan.. “menghapus jejak”. aku lupa syairnya, tetapi kurang lebih.. “biar hujan menghapus jejakmu.. engkau bukanlah segalaku…” dst…

hmmmm… aku tak bisa melakukan itu… dan aku tak ingin melakukannya. aku tak mungkin bisa menghapus jejakku di lembaga itu, tempatku menemukan cita-cita profesi.. dan tempatku menjadi dewasa dalam banyak hal.. dan lagi, 11,6 tahun bukanlah waktu yang sebentar..

kini aku memang tak lagi terikat apapun dengan lembaga itu.. tapi aku tak akan pernah menghapuskan jejakku di sana.. itu ada, meskipun kini telah menjadi masa lalu…

bahwa aku pernah dan sempat tak bersepakat dengan beberapa orang di sana, itu sama sekali tak mengubah posisi lembaga itu di dalam hatiku… lembaga yang sangat berperan dalam hidupku.. apalagi, di manapun kita berada, pastilah ada satu dua orang atau sekelompok orang yang nggak bersesuaian dengan kita.. itu lumrah saja..

tapi semua itu,sekali lagi, tak akan mengubah apalagi menghapus jejak lembaga itu dalam kehidupanku… tapi ya itu, sekarang sudah menjadi masa lalu..

di masa depan, entahlah.. kita liat saja nanti.. 🙂

 

 

10 mei 2008

sejak 2004 silam, 10 mei diperingati sebagai hari lupus sedunia… sebagai volunteer di syamsi dhuha foundation, aku ingin sekali terlibat dalam kegiatan untuk hari tersebut. tahun-tahun lalu, aku mengajak sesama relawan untuk kampanye di jalan, membantu pelaksanaan seminar dan sebagainya. tahun ini, aku off.. sebab aku di jakarta dan banyak kegiatan yang harus dilakukan..

mengapa lupus menjadi penting bagiku? selain karena aku kenal dengan ketua yayasan SDF, aku juga merasa, ingin berbagi saja.. berbagi semangat, berbagi waktu untuk sesama.. itu saja..

tahun ini, aku melakukan dengan caraku sendiri.. aku membawa booklet dan pin serta stiker untuk aku bagikan ke teman-teman di kelasku.. mereka adalah orang-orang yang mewakili 11 lembaga berbeda. mudah-mudahan, pembagian booklet itu bisa membantu menyebarkan informasi mengenai lupus..

selebihnya aku bantu doa, dan sedikit saran ini dan itu…

Menjadi lupus, sama sekali bukanlah pilihan. tetapi juga bukan kutukan.. aku tergerak untuk terlibat, sebab lupus bisa menyerang siapa saja.. bisa menyerang orang yang tak tahu apapun, dan kemudian divonis lupus.. sesuatu yang akan mengubah keseharian orang tersebut.

hingga kini lupus belum ada obatnya, itu juga sebuah concern yang lain. perempuan menjadi sasaran utama penyakit ini.. belum lagi efek sampingnya..

apa yang bisa kulakukan? menyosialisasikan informasi tersebut, sebisaku, sehingga penanganannya bisa lebih awal.. dan itu menyelamatkan kehidupan — tentu saja dalam batas kemampuan manusia, sebab ajal adalah rahasiaNya.

so, care for lupus.. your caring saves lives…

 

“hatinya sudah tak di sini….”

begitu kata-kata yang diucapkan oleh beberapa petinggi di lembaga tempat aku bekerja selama 11 tahun ini. hatiku sudah tak di sana? …. mungkin ya, untuk beberapa hal tapi secara ideologi, sama sekali tak seperti itu. aku mencintai lembaga tersebut, aku jatuh cinta.. makanya bertahan selama 11 tahun. aku memilih untuk berada di sana, meskipun di luaran ada beberapa peluang untukku..

jadi, hatiku sudah tak di sana? menurutku, itu hanya sebuah kalimat yang diungkapkan untuk menyatakan bahwa itu semua bukan salah mereka, sehingga aku memutuskan untuk resign, tapi  memang karena “hatinya sudah tak di sini”…

enak betul ya, mencari kesalahan atau tepatnya, melimpahkan kesalahan kepada orang lain… yang sebenarnya, mereka — petinggi-petinggi itu — adalah bagian dari keputusanku untuk resign. kalimat itu mereka ucapkan, karena mereka mendapat pertanyaan tajam dari rekan-rekanku.. tapi sudahlah, aku tak mau memperpanjang masalah..

seperti pernah kubilang, aku tak mau bekerja asal-asalan…gara-gara aku tak bersepakat dengan aturan di dalam sana. aku memilih untuk keluar, dan insya Allah mempertahankan sikapku dan prinsipku..

mungkin, ada jalan tengah.. seperti yang diambil beberapa rekan. bekerja seadanya saja, toh lembaga itu tak memberikan yang seharusnya kepada kita.. (aduhhh, aku nggak bisa…) tapi setiap orang punya pilihan untuk melakukan apapun, sesuai pilihan hatinya. aku tak sedang menghakimi, aku juga tak sedang menganggap diriku lebih baik daripada yang lain.. aku hanya bilang, aku tak bisa dan itu pilihanku.

satu hal yang lebih penting, aku tak mau lagi menghabiskan waktuku untuk membahas ini…

insya allah ini sudah final.. surat resign sudah ditandatangani dan kini sedang diproses oleh bagian sdm. just wait and see.. apakah akan ada persoalan baru di sana…hehehe… mudah-mudahan saja tidak ada lagi…

 

 

 

 

sebuah “ancaman”..

masih berkaitan dengan rencana resign, seorang teman bercerita padaku bahwa salah satu petinggi melakukan sebuah “ancaman” padaku… bahwa dia bilang, dia bisa saja menulis surat ke tempatku belajar saat ini dan memberitahukan bahwa aku tak lagi bekerja di tempat kerjaku… “kalo saya jahat, saya akan lakukan itu, tapi saya tidak akan melakukannya,” ujar petinggi ini kepada temanku.

saat diceritakan hal tersebut padaku, aku berujar pada temanku,”silakan saja, kirim saja surat… tapi hal itu sama sekali nggak ada gunanya…” mengapa?

sebab pihak pemberi beasiswa itu, tak mempersoalkan apakah saat ini aku masih bekerja atau tidak. bahkan mereka sudah menduga sejak awal, bahwa para kandidat yang berasal dari swasta, akan mengundurkan diri dari tempatnya bekerja.. itu sudah mereka perhitungkan. artinya, kalo petinggi itu mau mengirimkan surat, hehehe… aku membayangkan pasti lembaga itu akan bingung.. soalnya, nggak ada gunanya sama sekali.

bahwa ketika aku mendaftarkan diri, aku masih berstatus karyawan aktif dengan posisi tertentu, itu benar adanya. bahwa salah satu alasan aku mendapatkan beasiswa itu adalah karena posisiku di kantor, itu juga benar adanya. tapi, ya hanya sebatas itu saja…

toh aku sendiri tak pernah punya niat keluar kok, hanya saja dalam perjalanannya ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan kondisi yang aku harapkan, jadi aku memilih untuk memilih jalan ini.

aku sama sekali tak akan menutupi kenyataan, jika kelak urusan pesangon dan sebagainya selesai, aku akan dengan jelas mengatakan bahwa aku memang sudah tak bekerja lagi di sana. jangan khawatir, bos.. aku tak akan mengambil keuntungan dari perusahaan yang anda pimpin, untuk beasiswa yang tengah saya jalani ini.. insya Allah. saya masih punya moral untuk tidak melakukan hal-hal yang tercela…

bahkan sebagian teman-temanku di kelas saat ini sudah tahu mengenai rencanaku… jadi aku tak menutupinya… cuma saat ini kan masih proses.. tapi kalo ada yang bertanya, aku akan bilang,”saya saya sedang memproses pengunduran diri saya..” so what?

perusahaan tempatku bekerja saat ini memang cukup diperhitungkan, tapi aku percaya rezeki itu Allah yang mengatur.. Jika kemarin-kemarin, rezeki itu dilewatkan perusahaan tersebut maka selanjutnya Allah Maha Tahu dari pintu mana rezeki itu akan datang.. aku insya Allah nggak mengkhawatirkan hal tersebut. Allah akan menolong hambaNya yang percaya padaNya, dan aku insya Allah percaya padaNya.. berusaha untuk menjadi hambaNya yang baik… menempuh jalan yang ditetapkanNya meskipun masih jatuh-bangun dan tersaruk-saruk…

wahai bos, untuk anda ketahui.. sebagian teman-teman saya juga sudah tak bekerja di perusahaan/lembaga yang menjadikan mereka memperoleh beasiswa tersebut.. karena mereka (termasuk saya) punya pengalaman kerja, sehingga ilmu yang kelak kami dapatkan di negeri kangguru akan tetap bermanfaat untuk negeri ini.. sekalipun tidak bekerja di lembaga/perusahaan yang lama..

jadi, aku pengen ketawa dengar “ancaman” dia.. aku mendapat kesan dia seolah ingin mengirimkan pesan, bahwa meskipun aku sudah ‘menyakiti’  dia (dengan tak bersedia bernego dan tak bersedia meminta pertolongan dia..), dia seolah ingin menunjukkan sikap bijak dan baik hatinya.. padahal, –maafkan aku jika aku kasar — itu justru menunjukkan kebodohan dia, menunjukkan arogansi dia sebagai pemimpin…

astagfirullah hal adzim… ampuni aku ya Allah..

aku hanya curhat, aku hanya ingin bicara yang sebenarnya.. tapi aku juga tau, itu tak mungkin.. tak mungkin aku menyampaikan kepada semua orang bahwa aku ini teraniaya dan aku berada di pihak yang benar.. sudahlah, toh aku sejak awal sudah bertekad, tak ada kemarahan, tak ada dendam.. kalo ada yang terus saya marah dan kecewa padaku.. itu di luar kekuasaanku…

ya Allah, ampuni aku… yang terus saja berkata-kata…

aku tahu diam lebih baik (begitu juga pesan suamiku untuk tak terus berkata-kata) tetapi aku hanya ingin menuliskan ini.. dan selesai…

no hard feeling.. insya Allah..

aku berusaha untuk memahami, mengerti dan mengikhlaskan.. (sama sekali tak mudah, tapi aku akan terus berusaha…)