Monthly Archives: June 2010

Wartawan amplop…duhhh

Ini cerita usang, soal wartawan yang selalu dikonotasikan menerima amplop. Dalam sejarah Indonesia, hal ini ternyata sudah berlangsung sejak masa awal kemerdekaan…. tapi yang lebih membuatku semakin miris adalah kenyataan bahwa “wartawan amplop” atau wartawan yang dikonotasikan menerima amplop…. ceritanya tak cuma di dalam negeri, tapi sampai ke dunia internasional.

Sebenarnya sudah sejak lama, aku merasa risih dengan pandangan masyarakat kita, bahwa kalo wartawan pasti menerima amplop… Makanya, dulu, ketika awal menjadi wartawan, aku bangga mengungkapkan profesiku, tapi belakangan…setelah aku tahu bahwa ternyata wartawan itu diidentikkan dengan penerima amplop, aku lebih hati-hati… kalo nggak perlu-perlu amat, aku nggak akan bilang pekerjaanku apa hehehe… khawatir mendengar hal-hal yang menyakitkan hatiku..

Bagaimana tidak menyakitkan? Dulu sekali, ketika aku diterima menjadi wartawan di sebuah koran nasional di Jakarta… aku katakan pada bapakku, yang sangat menentang keras anaknya menjadi wartawan, bahwa “percayalah, aku tak akan menjadi wartawan seperti yang bapak khawatirkan… aku nggak akan mintain uang ke narasumber, bahkan di perusahaanku..kami dilarang menerima amplop”. Akhirnya bapakku luruh, mengizinkan aku menjadi wartawan…

Bapakku, yang sempat mempunyai jabatan cukup bagus di kantornya, punya pengalaman buruk dengan wartawan daerah. Dia kerap didatangi wartawan bodrex (wartawan gadungan) yang mengancam akan memberitakan masalah di kantor bapakku, kecuali jika bapakku sebagai pejabat di kantor tersebut mau memberikan uang… Dan bapakku bilang,”Silakan anda tulis apapun yang anda mau, tapi anda tulis juga bahwa anda meminta uang dari saya, tapi tidak saya beri.” begitu kisah bapakku….

Nah, dalam pandangan bapakku, semua wartawan seperti itu… jadi wartawan identik dengan minta-minta uang… kata bapakku,”Bapak nggak mau punya anak, yang kerjaannya minta-minta uang sama orang.. kamu boleh jadi apa saja, tapi tidak menjadi wartawan.” Itu ucapan bapakku saat aku mau masuk jurusan jurnalistik, saat memilih jurusan. jadinya, niat untuk masuk jurusan jurnalistik, aku urungkan… keinginan untuk menjadi wartawan, yang aku pupuk sejak SMA, pun punah sudah….

Tapi jalan hidup tak ada yang tahu…. ternyata aku jadi wartawan juga 🙂 di sebuah media nasional di Jakarta…dan itu tadi, bapakku akhirnya menyerah setelah mendengar penjelasanku bahwa…di kantorku, penerimaan uang itu dilarang..kalo ketahuan menerima uang dari narasumber, bakal dipecat..

Insya Allah, aku senantiasa memegang prinsip tersebut… tidak menerima uang amplop dari narasumber, baik itu diberikan secara langsung maupun yang diselipkan di antara siaran pers atau rilis. Bahkan ketika pergi ke luar kota pun, saat diundang untuk mengikuti sebuah acara yang digelar perusahaan tersebut, semua akomodasi dibiayai oleh pengundang, aku tetap tak mau menerima uang amplop… Meskipun sang penyelenggara bilang bahwa “itu adalah bagian dari akomodais yang disediakan”… aku tahu bahwa semua wartawan yang diundang menerima uang tersebut, sebab menurut mereka, ini berbeda dengan uang yang biasa diberikan kalo liputan dalam kota. Ada juga yang berpendapat, salah seorang senior di kantorku, “kalo kamu ambil uang yang diberikan pengundang (dalam liputan ke luar kota) maka kamu tak berhak mendapatkan uang saku dari kantor…jadi tinggal pilih saja, mau ambil uang yang dari pengundang atau dari kantor”… Hmmm, biarpun yang dari kantor selalu lebih kecil jumlahnya, tapi aku tak pernah memilih uang pengundang…aku memilih uang kantor 🙂 Tapi kalo ke luar negeri, lain lagi urusannya…silakan ambil uang sakunya, kata kantor. Itu lazim berlaku di semua perusahaan media massa, setahuku…

Tapi yang jadi persoalan besar dan sangat serius memang uang amplop untuk liputan dalam kota… Diundang untuk menghadiri seminar, atau jumpa pers atau bahkan liputan biasa…wartawan seringkali diberi amplop.. Dan soal itu, ternyata dibahas dalam beberap jurnal ilmiah yang aku temukan saat aku mencari bahan untuk tugasku semester ini… Duhhhhh, malunya aku…

Ternyata, bahasan mengenai kebiasaan wartawan Indonesia menerima amplop saat liputan, dikupas tuntas oleh beberapa penulis di jurnal ilmiah internasional maupun dalam sebuah buku…!!!! Jadi rupanya, kalo masyarakat umum memandang wartawan identik dengan amplop…ya nggak aneh, wong urusannya sudah sampai di tingkat internasional… Bahasannya pun detail… mulai dari mengapa menerima amplop, jumlahnya berapa, dengan cara seperti apa amplop itu diberikan dan seterusnya…pokoknya lengkap-kap-kap….
Kemudian juga dituliskan sejarah munculnya budaya amplop ini, mengapa wartawan cenderung menerima amplop dan bagaimana komentar para wartawan itu sendiri terhadap amplop…

Duhhhh…makanya, saat beberapa waktu lalu aku ngobrol dengan seorang teman, soal liputan, dia yang bukan wartawan, dengan enteng bilang,”Undang wartawan…kasi amplop…dst..dst…” Degggg, hatiku berdegup kencang.. aku nggak suka dengan kata-katanya, tapi aku berusaha untuk bersikap biasa.. aku bilang, “Nggak…nggak… untuk acara seperti itu wartawan nggak dikasi amplop…tapi undangan gratis…bla..bla..”
Tapi akhirnya aku harus menerima kenyataan bahwa masyarakat memang memandang biasa kalo wartawan menerima amplop, bahkan suatu yang lazim. Ini kadang menyakitkan untukku, yang berjuang untuk tidak menerima amplop selama aku menjadi wartawan…

Makanya ketika aku menjadi kepala biro di Bandung, aku selalu menekankan kepada teman-teman reporter yang lebih muda, lebih junior… bahwa, menolak amplop itu seperti menegaskan integritas diri.. dan percayalah bahwa narasumber akan menjadi jauh lebih respek kepada kita saat kita bilang bahwa kita tak perlu uang amplop mereka… Lagipula, menerima ato menolak amplop kelak akan menjadi kebiasaan…

Aku jadi teringat, saat melakukan wawancara dengan dirut sebuah bank di Bandung, bersama atasanku yang tak punya latarbelakang sebagai wartawan. Dia mendampingi karena dia dari divisi usaha..sementara aku, melakukan wawancaranya. saat kami di lift, selesai melakukan wawancara, seorang petugas humas bank tersebut berlari-lari mengejar kami dan menaham pintu lift sambil menyerahkan selembar map yang isinya amplop… atasanku itu terlihat cukup kaget dan syok…saat kami katakan, nggak usah kepada petugas tersebut, si petugas terus memaksa… Pintu lift tertahan lama… atasanku bingung, dan memandangku… aku beri kode untuk diambil saja map-nya… Atasanku terlihat kaget, tapi aku beri kode ambil dan sudah…

Begitu si petugas humas berlalu dan pintu lift tertutup aku terbahak… aku bilang,”nggak enak kan disodori amplop begitu…” Dia tersenyum masih dengan wajah bingung dan tampak tak nyaman… Aku mengatakan hal tersebut, sebab sebelumnya dia juga suka beranggapan bahwa kami para wartawan semuanya, suka menerima amplop…padahal tak semuanya.. Dan aku juga tak ingin meyakinkan dia atau berdebat mengenai hal tersebut, buat apa? Kalo dia sudah yakin, percuma kita menjelaskan… Dan ternyata benar, saatnya tiba menjelaskan… sebab dia mengalaminya sendiri… bagaimana rasanya, tidak nyamannya…

“Lho..kita kan cuma wawancara teh, kita nggak minta uang untuk wawancara ini,” ujarnya padaku. Ya begitulah, kataku… seringkali kita memang cuma berniat mau wawancara atau konfirmasi satu hal, tapi narasumber berpikir, mereka perlu memberi kita uang… padahal itu sama sekali tak terlintas dalam benak kita…kataku menjelaskan. “Sekarang mas tahu, gimana rasanya…gimana terhinanya,” kataku lagi. Dia mengangguk-angguk mengerti. Lalu bertanya, trus uang ini dibagaimanakan?

Aku katakan bahwa di kantor kita ada mekanisme pengembalian uang… jadi minta surat keterangan dari sekretariat redaksi, yang sudah ada template-nya… isi surat tersebut dan kembalikan uang tersebut beserta surat keterangan itu… Langsung minta kurir untuk mengantarkannya ke kantor tersebut siang itu juga. Dia melakukannya…Tapi sambil bercanda dia berkata, “Teh, lumayan juga uangnya… wiuhhhh…pantesan..” Aku tertawa.. dan aku bilang, itulah godaannya… 🙂

Setelah uang itu dikembalikan, pihak bank tersebut merasa malu hati… dan sejak itu, pihak bank tersebut selalu memisahkan souvenir untuk wartawan dari kantorku, jika mereka ada acara. Sebab souvenir untuk wartawan lain, selau diselipi amplop…sementara untuk wartawan dari kantorku, benar-benar isinya hanya souvenir dan press rilis… souvenirnya pun bukan sesuatu yang wah, hanya semacam gantungan kunci atau buku agenda..atau kalo pas awal tahun, ya kalender dan sejenisnya…

Balik lagi ke soal jurnal ilmiah itu, dikatakan bahwa budaya amplop di Indonesia sudah sedemikian mengakar… tapi, kata sang penulis, hal tersebut bisa diberantas jika memang sungguh-sungguh diniatkan. Ada contoh negara yang berhasil memberantas budaya tersebut.. Aku belum sempat mencari informasi mengeai hal tersebut, insya Allah aku akan cari… penasaran saja, bagaimana caranya… mana tahu bisa diterapkan di Indonesia…aku lupa, negaranya apa…tapi dikatakan ada negara yang berhasil menyelesaikan soal budaya amplop itu…