Dalam pandanganku, ada beberapa hal yang penting didiskusikan dengan calon suami kita.
Pertama, arti anak dalam rumah tangga. Apakah setelah menikah, kita wajib punya anak? Jika ya, bagaimana kalau kemudian kita berdua tak dikaruniai anak? Apakah kamu akan menikah lagi? Atau kita mengangkat anak? Atau bagaimana?
Ada temanku yang sudah tiga tahun menikah, stress berat sebab suaminya menginginkan agar dirinya hamil. Yang jadi soal, si suami tak mau ikutan ke dokter untuk diperiksa… Ia bilang padaku,”Kamu enak ya, suamimu mau mengerti. Nggak memburu-buru untuk segera punya anak.” Aku tak bisa berkata apa-apa, tak mungkin aku bilang yang sebenarnya.. nanti dikira sombong dan mau pamer.. halahhh…repot!
Tapi kami berdua dulu sepakat bahwa anak bukanlah hal yang utama dalam rumah tangga, kami berdua sepakat bahwa anak adalah titipan. Kalau Allah percayakan kami untuk mempunyai anak, alhamdulillah…tetapi jika tidak, maka kami pun tak memaksakan. Alternatif lain adalah mengasuh anak orang lain… Toh makna anak bukanlah anak yang harus kita lahirkan dari rahim kita sendiri…
Ya sih, ortuku sudah mulai bertanya mengenai anak, mertua malah udah sejak bulan kedua kami menikah, sudah ribut tanya soal hamil nggak… alhamdulillah, komitmen kami berdua sudah kuat, jadi lebih tenang menghadapi semua pertanyaan, lebih santai…
Kedua, bagaimana jika aku bekerja dengan gaji lebih tinggi daripadamu? Apakah kamu bisa menerima atau tidak? Apakah usia istri harus lebih muda dari suami? Apakah pendidikan suami harus lebih tinggi dari istri?
Jika tidak, apakah kita tidak bisa melanjutkan rencana pernikahan kita? Atau aku nanti berhenti bekerja saja, tapi apakah gajimu kira-kira cukup untuk hidup kita?
Calon suamiku waktu itu, tak keberatan aku bergaji lebih besar dari dia… calon suamiku juga nggak mempersoalkan perbedaan usia kami, dia lebih muda setahun dariku. Pendidikanku juga lebih tinggi dari dia… Ia bilang tak keberatan.
Lalu, aku katakan, bahwa niatku bekerja adalah untuk mengaktualisasikan diri dan kedua, untuk membantu suami dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Karena niatnya membantu, maka uang yang aku peroleh adalah uang milik dia. Aku lagi-lagi ingat bu Rita yang mengatakan hal tersebut. Dan aku sepakat dengan kata-kata bu Rita.
Jika perempuan mempunyai uang sendiri dan boleh menggunakannya untuk apa saja, hal tersebut kemungkinan bisa jadi persoalan besar dalam rumah tangga. Apalagi jika penghasilan istri lebih besar dari suami. Logikanya, yang namanya orang membantu kan, hasilnya diberikan kepada orang yang dibantu. Sebagai contoh, kalau kita ingin membantu seorang nenek penjual makanan di pasar, dengan membantu menjualkan makanannya… hasil penjualan pasti akan kita serahkan seluruhnya kepada si nenek, bukan untuk kita.
Begitu juga saat perempuan bekerja, dengan alasan membantu ekonomi keluarga.. maka artinya dia membantu suami, sebab yang mempunyai tugas mencari nafkah adalah suami. Istri tak punya kewajiban untuk mencari nafkah.. tugas dia adalah mengurus suami dan anak-anak serta rumah tangga. Tapi tak ada larangan bagi istri bekerja asalkan diizinkan suaminya. Hanya saja, itu tadi.. hasil dia bekerja adalah milik suaminya…
Dengan pemahaman seperti itu, insya Allah.. istri pun tak akan menjadi sombong dan sok berkuasa gara-gara punya penghasilan yang lebih besar dari suami, sehingga merasa lebih penting dalam keluarga. Bagaimanapun, Islam mengajarkan bahwa suami adalah imam dan harus dipatuhi…Soal latar belakang pendidikan juga begitu..
Temanku malah ada yang menikah dengan lelaki lulusan SMP, dan hanya mengikuti ujian persamaan SMA (tanpa pernah sekolah di SMA) sementara temanku lulusan universitas paling bergengsi di Indonesia, dengan pekerjaan yang bagus di kantornya. Sejauh ini, kehidupan rumah tangga mereka baik-baik saja dengan dua orang anak…
Ketiga, bagaimana pandanganmu mengenai poligami? Apakah kamu setuju atau tidak? Apa alasannya…
Bukan berarti, jika dia pendukung poligami, kita tak jadi menikah dengannya. Paling tidak, dengan mengetahui pandangan dia mengenai poligami, kita tahu ke depannya bagaimana… jangan pernah berpikir untuk mengubah dia atau pandangan dia.. Kalau pemahaman agama dia meningkat, peluang berubah itu ada.. tetapi jika tidak, setidaknya kita tahu bahwa suatu saat, jika perekonomian keluarga membaik dan sangat bagus, bisa jadi dia akan menikah lagi… Kita siap nggak? Atau kita harus bersiap-siap sejak sekarang jadi kelak tidak kaget…
Keempat, kalau aku NU dan kamu Muhammadiyah, maukah kamu.. kita saling menghormati pilihan itu? Toh kita sama-sama muslim…
Kelima, kalau kita sudah menikah kelak.. apakah kamu mengizinkan saya untuk pergi ke pengajian? Untuk menambah ilmu dan pemahaman?
Jika kita sudah mengetahui dengan baik jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas, insya Allah yang lainnya menjadi lebih mudah..
Kunci satu hal, berdoa… dan jangan dibutakan oleh pesona dia. Ketika aku memutuskan untuk menikah dengan suamiku, waktu tiga bulan itu kami sudah membicarakan hal tersebut seringkali, berulang kali.. menyamakan persepsi…
Saat menikah, aku belum mencintai suamiku, baru dalam taraf menyukainya dan sedikit terpesona… tetapi aku tahu dia lelaki yang baik dan aku yakin inilah jodohku. Aku baru menyukainya.. menyayanginya… dan setelah dua bulan menikah, aku tahu bahwa aku jatuh cinta padanya… terus saja jatuh cinta sampai sekarang, alhamdulillah..
(sssttt, bukan berarti suamiku sempurna.. banyak hal menyebalkan juga dari dirinya, ia juga tak sempurna sama seperti aku… tapi semuanya aku lihat dengan cinta sekaligus rasa syukur serta keyakinan bahwa dia adalah lelaki terbaik yang dikirim Allah untukku…)