Monthly Archives: June 2008

tentang kebimbangan itu

wajahnya berbinar ceria.. aku tau dia sedang bahagia. Yup.. dia bilang, seorang pria yang baik bertanya apakah dia bersedia menikah? Wuihhhh, pertanyaan mendebarkan bagi semua gadis..

kutanyakan padanya, apakah dia bersedia? wajahnya merona.. ia tampak lebih cantik saat tersipu. kata dia,”aku bingung.. kalau aku mengiyakan, bagaimana dengan perusahaan ini.” aku tersenyum mendengarnya..

karena waktunya yang sempit, aku tak sempat bicara banyak padanya, kecuali bilang bahwa “berdoalah kepada Allah memohon jawaban yang terbaik. Jika ia memang yang terbaik, Allah akan memudahkan semuanya.”

aku juga bilang padanya, jangan terlalu mudah “terpengaruh” dan “tertipu” dengan sikap manis yang ditunjukkan siapapun, lelaki itu, sebelum benar-benar tahu yang sesungguhnya. berkata manis itu mudah, berkata ramah juga tak sulit…tetapi benarkah dia seperti itu?

selain itu, aku juga katakan padanya, jatuh cintalah setelah menikah… itu akan jauh lebih indah.. sebab kebaikan pasangan kita, adalah berkah dari Allah. namun bukan berarti kita tak boleh suka pada seseorang yang akan kita nikahi, justru wajib… kita harus menikah dengan orang yang kita sukai, dan kita tahu — sebatas pengetahuan kita — bahwa dia memenuhi kriteria pasangan idaman yang kita tunggu selama ini.

mengenai kekhawatirannya pada kelangsungan perusahaan yang dikelola dia, ibunya dan beberapa koleganya, yang selama ini bergantung cukup besar padanya.. aku nggak sempat mengomentarinya. tapi aku ingin sekali bilang padanya untuk tak terlalu khawatir mengenai hal tersebut.. yakinlah bahwa Allah mempunyai rencana yang jauh lebih baik, bahkan seringkali tak terpikirkan oleh kita.

karena itu, yang terpenting saat ini adalah berdoa..memohon yang terbaik untuk dia… apakah lelaki itu memang pasangan jiwa yang dipilihkan Allah untuknya… jika ya, percayalah, Allah akan memudahkan semuanya…memudahkan semua urusan, sebab pernikahan yang barokah itu akan mudah…

aku tahu, engkau sayang pada kedua orangtuanya,khususnya mama, dan juga mencintai perusahaan yang selama ini menjadi tempat berkiprah.. tetapi jangan lupa, Allah lebih sayang 😀 jadi serahkan semuanya pada Allah saja.. dalam doa yang khusyu.. dengan penuh pengharapan sekaligus keyakinan..

aku hanya bisa membantu dengan saran dan sedikit doa..

** dear : 820304 

hanya 1,5 tahun saja

 

Lama tak bersua, tak bertukar kabar, aku dikejutkan dengan kabar terbaru darinya. Kabar yang membuatku merinding sekaligus merasa seluruh tubuhku lemas… tak berdaya.. Mau tak percaya bagaimana, dia sendiri yang mengatakannya padaku..

“aku cerai..,” ujar dia. Sayangnya aku tak melihat ekspresi wajahnya, sebab percakapan itu berlangsung melalui yahoo messenger (YM).

Padahal, saat aku menyapanya pertama kali sore itu, aku hanya iseng.. aku hanya merasa sudah lama tak berkirim kabar…

“sekarang aku mulai menata hidup lagi..,” cetus dia.

“aku tidak menyesal, karena kalau aku tak menikah, aku nggak akan punya “R” (dia menyebutkan nama anak lelakinya yang masih bayi),” kata dia lagi.

 

Bayi yang lucu dan menggemaskan…, sayangnya nasib dia tak seindah dan selucu wajahnya.. sebab di usia yang belum satu tahun, ia harus menghadapi kenyataan bahwa orangtuanya berpisah.

“kamu tegar sekali…,” kataku.

“makasih teh,’’ jawab dia.

Aaahhhhhh…apa yang bisa aku bilang selain mengiyakan kata-katanya dan sedikit bertanya ini dan itu tentang penyebab perpisahan mereka? Aku tak ingin mengatakan hal-hal yang dia sendiri sudah tau.. aku juga tak ingin menghibur dia dengan mengatakan kata-kata manis.. aku tak ingin mengeluarkan kalimat-kalimat yang tak perlu didengarnya kan?

Apalagi dia sudah tau semuanya, dengar saja katanya:

‘’Aku bersyukur, karena sekarang ini Allah justru sedang menyelamatkanku,” ujar dia lagi. Nahhh, benar kan? Dia sudah menyadari hal tersebut.. dia bisa mengatasi persoalannya.. meskipun aku tau, hal ini sama sekali tidak mudah. Mereka menikah di awal tahun 2006, persis di awal tahun. Saat orang lain merayakan tahun baru, dia melaksanakan pernikahannya… Siapa yang menyangka, bahwa pernikahan itu hanya akan berumur 1,5 tahun saja? Setelah sebelumnya, dia mengandung selama sembilan bulan dan melahirkan anak yang lucu…

 

Dalam banyak kasus, anak menjadi perekat hubungan suami-istri, menjadi sebab semakin cintanya suami kepada istri.. dalam kasus normal, anak adalah buah cinta yang membuat suami dan istri semakin saling menyayangi…

Tapi dalam kasus dia, kondisinya sama sekali berbeda. Suami yang sudah gelap mata itu, mengatakan bahwa “kamu dan anakmu, menjadi penghalang kebahagiaanku dengan dia [perempuan lain].”

Apa namanya, jika bukan gelap mata? Apa namanya jika bukan tak punya hati?

 

Tapi aku tetap ingin mendapatkan hikmah dari pengalaman dia. Aku tahu dia bisa mengatasi persoalannya, dia tegar.. dan dia mampu mengambil hikmah dari kepahitan hidup yang dialaminya. “sekarang aku jadi single parent,” kata dia.

Kutanyakan, bagaimana sebelum menikah dulu?

“aku termakan gombalan dia,teh.. semua yang diomonginnya dulu bullshit semua.’’

Dua bulan setelah pernikahan, perempuan itu datang dan mulai mengganggu kehidupan pernikahan dia. “inget nggak, dulu aku merasa nggak yakin untuk menikah.. nggak mantap. Dan ternyata feelingku benar,’’ kata dia. Aku hanya mengeluh dalam hati membaca kalimat itu…

“lalu kenapa kamu nggak mengikuti kata hatimu?” aku mengejarnya..”selama ini saya juga tidak segera menikah, karena selalu merasa belum yakin.. belum mantap. Saya baru memutuskan menikah setelah saya merasa yakin…”

“mungkin karena aku didesak oleh orangtuaku.. oleh saudara-saudara dan lingkungan,” katanya.

Tuuuuhhhhhh kaaaaannnnn……

(jadi ingat, bahwa dia pacaran hampir lima tahun lamanya.. dan saat pacaran itu, lelaki-tak-punya-hati itu memang pernah berkhianat padanya…tapi dia memaafkan.. atas nama cinta…duhhhhh)

 

Aku berpikir sendiri, aku semakin meyakini apa yang sudah aku yakini selama ini.. menikahlah jika kita sudah merasa mantap…

Bagaimana untuk bisa mantap? Berdoa pada Allah dan percaya pada isyarat yang diberikanNya…Jangan dibutakan oleh cinta atau hawa nafsu, jangan diburu-buru oleh desakan orangtua dan lingkungan…

Jika mengalami sesuatu dalam perjalanan pernikahan, kitalah yang akan menanggung akibatnya.. Dalam kasus temanku ini, dia mampu memahaminya dengan lapang dada, menyadari kesalahannya dan menerima kenyataan ini sebagai bagian dari jalan hidupnya, mengambil hikmahnya dan terus melangkah…

Ia menyusun langkah baru dalam episode baru kehidupannya.. sendirian, eh berdua dengan buah hatinya…

Tapi berapa banyak dari kita yang bisa menjalani itu dengan lapang dada?

Berapa banyak di antara kita yang bersedia mengakui kesalahan kita sendiri dan kemudian memaafkan diri sendiri, dan bukan menyalahkan orang lain?

Karena itu, berpikir matang sebelum menikah… berdoa yang sungguh-sungguh memohon petunjukNya..

Selebihnya, percayakan hidup kita kepadaNya, sebab Dia pasti memberikan yang terbaik untuk kita…

‘Media Jangan Mau Dimanipulasi’

 JAKARTA — Suka tidak suka, merebaknya aksi kekerasan di seluruh dunia saat ini dipicu oleh peran media massa dan elektronik. Media kerap dimanipulasi oleh kelompok-kelompok yang punya kepentingan, apakah itu politik, ekonomi, maupun agama untuk melanggengkan kekerasan.

Panel jurnalis di 2nd World Peace Forum meminta media jangan lagi mau dimanipulasi dan harus menyiarkan berita secara berimbang. ”Harus ada kesepakatan bersama dari para jurnalis yang meliput isu-isu kekerasan bahwa mereka benar-benar harus seimbang memberitakan,” kata Rustem Ibragim Khairov, Direktur Eksekutif International Foundation for Survival and Development of Humanity, Moskow, Rusia, Rabu (26/6) petang.

Sekretaris Jenderal International Federation of Journalist (IFJ), Aidan Patrick White, mengingatkan, meningkatnya kekerasan menjadi salah satu indikator bahwa pemberitaan para wartawan tidak lagi mengedepankan etika. Ia menyebut hal ini sebagai tantangan utama di industri media. Salah satu contoh yang diperdebatkan dalam forum adalah pemberitaan media di AS seperti Fox News dan CNN yang dinilai tidak adil terhadap Islam. Wajah Islam dalam pemberitaan kedua stasius televisi tersebut hanyalah wajah kekerasan dan kemiskinan.

Menjawab hal ini, Direktur Global Forum for Media Development, Bettina Peters, mengatakan masyarakat sudah harus pintar memilih, mana media yang menyiarkan kebencian dan mana media yang memberitakan seimbang. Masalahnya, menurut Direktur Kamal Adham Centre for Journalism, Lawrence Pintak, media di barat terutama AS dan Eropa berbeda paradigma dengan media lain misalnya di Timur Tengah. Perbedaan paradigma membuat perbedaan penafsiran berita.

”Sebagai penyebar informasi, media harus memiliki tanggungjawab. Sebab ia bisa digunakan sebagai senjata perang oleh pihak-pihak yang tengah berkonflik,” katanya. Salah satu contoh yang diutarakan adalah pemuatan kartun Nabi Muhammad SAW yang dinilai oleh umat Islam sebagai aksi penghinaan agama. Sementara, di Eropa maupun AS, memuat kartun itu tidak dianggap menghina karena merupakan kebebasas berekspresi. evy

sumber : Republika, Kamis 26 Juni 2008 (www.republika.co.id)

 

Liburan berdua saja…

Duduk di dalam kereta api Argowilis dalam perjalanan Jogjakarta-Bandung.. aku menatap suamiku dan tersenyum… “Begini rasanya…,” kataku.

“apa?” suamiku bertanya sambil menatapku

“Bepergian dengan suami.. baru sekali ini lho,” kataku

“Biasanya sama pacar?” dia menggodaku

“Biasanya sendirian… ke mana-mana sendirian.. aku inget banget, setiap kali cuti, aku kan sering ke Jawa Timur.. ke Surabaya, atau ke Jember, Malang.. menginap di rumah teman ato sodara. Tapi perjalanannya aku lakukan seorang diri…bener-bener sendirian.. Kalo aa kan masih ada temannya ada satu dua orang teman jalan, kalo aku sendirian aja…,” jawabku.

“Trus sekarang gimana rasanya?’’ kata kekasihku itu..

“ya senenglah.. seneng banget. Makasih yaaa…,” kataku menatapnya penuh cinta..

Alhamdulillah, aku senang sekali bisa mengalami semua ini.. aku senang bisa berlibur bersama suamiku.. liburan pertama kami, sejak menikah… Kami pergi berdua, jalan-jalan dan berbicara banyak hal..

Sudah enam bulan aku di Jakarta sementara suamiku di Bandung, kami bertemu hanya akhir pekan saja. Oya, dulu pas setelah akad nikah, kami memang pergi berdua.. tapi beda rasanya. Dulu kami ke Cipanas, Garut.. dia menyetir mobil.. dan aku duduk di sampingnya. Emang, menyenangkan juga waktu itu.. tapi saat itu, aku lebih banyak deg-degan.. membayangkan akan diapain aku di Cipanas hehehe… (memalukan, tapi gimana lagi.. emang begitulah perasaanku…)

Sekembali dari Cipanas, pun aku masih deg-degan membayangkan kehidupan pernikahan kami berdua.. kami yang kenal tiga bulan saja dan memutuskan untuk menikah, kami yang belum saling kenal begitu dalam satu sama lain, belum lagi membayangkan berinteraksi dengan keluarga besar dia (aku yakin dia pun merasakan hal yang sama…). Jadi senangnya dan bahagianya masih tersendat-sendatlah…

 

Setelah itu, kami beberapa bepergian bersama keluargaku.. jadi pergi rame-rame saja ke keluarga besarku di Jawa Tengah.. jadi ya, rasanya rame-rame gitu..

 

Makanya, perjalanan kemarin, ke Jogja dan Purwokerto itu.. bener-bener mengesankan bagiku, menyenangkan..alhamdulillah.. ini adalah bulan ke-11 pernikahan kami..insya Allah, bulan depan persisnya 21 Juli 2008 adalah setahun pernikahan kami..

 

Kata suamiku,” Alhamdulillah, aku juga senang. Kita insya Allah dapat rezeki dengan izinNya, makanya dipakenya juga jadi menyenangkan…Kapan-kapan, kalo ada rezeki lagi,kita pergi lagi ya jalan-jalan seperti ini.”

Duhhhh, cintaku.. mau banget…mau banget…makanya aku amini doanya. Subhanallah.., menikah memang menentramkan hati yaa..

 

Pertanyaan yang hhhmmmm…’menantang’

‘’Kamu muslim ya?’’

Aku mengangguk sembari tersenyum kepadanya yang tiba-saja bertanya kepadaku dan dua orang temanku.

‘’Kamu bisa bahasa Arab?’’

Dengan polos saja, aku mengatakan, tak bisa.

‘’Aku bisa lho…karena pernah tinggal di Mesir ,’’ ujar perempuan itu lagi. Aku menatapnya dengan tatapan surprise… Dia perempuan berkulit putih, berambut pirang. Perbincangan ini memang terjadi di sebuah business center di salah satu hotel cukup ternama di London, Inggris. Saat itu awal Februari 2008. aku sedang dalam tugas untuk melakukan liputan di negeri Big Ben tersebut selama sepekan. Perempuan ini memang staf di business center tersebut.

‘’… Aku nggak bisa mengerti, kenapa kalian… yang tidak mengerti bahasa Arab, bisa mempercayai sesuatu (Alquran) dan meyakini agama yang bahasanya pun kalian tidak mengerti,’’ ujar dia melanjutkan kalimat pertama. Diucapkan dengan kata-kata datar, dengan ekspresi wajah datar pula…tapi tetap saja seperti sebuah tohokan bagiku.

Bagaimana tidak, konon orang-orang di negeri Barat, tak peduli soal agama bahkan bagi mereka, agama adalah sebuah privasi.. jadi nggak akan dibicarakan sedemikian terbuka, apalagi dengan orang yang baru mereka kenal. Hanya karena aku dan teman-teman dua kali dating ke business center itu, bukan berarti dia kenal baik kepada kami kan?

Bukan,.. aku sama sekali tidak marah atau terganggu atau merasa diserang, aku hanya kaget karena informasi yang selama ini aku terima (mengenai orang-orang Barat yang menganggap pembicaraan agama adalah sesuatu yang tabu.. apalagi di awal pembicaraan dengan orang asing), tak sepenuhnya benar…

Perempuan berkaca mata ini melanjutkan, ‘’Aku juga punya teman di (mesir), dia orang Pakistan, dia juga tak bisa bahasa Arab tapi dia beragama Islam.’’

‘’Emang kenapa? Alquran ada terjemahannya dan itu sama di seluruh dunia,’’ kataku menjawab, setelah sesaat kaget dengan pernyataan dan pertanyaan dia.

‘’Iya.. tapi kan kalian tidak bisa mengerti bahasa arabnya. Buatku aneh, kalian meyakini sesuatu yang kalian sebenarnya tidak tahu apa itu… Sementara aku, bisa bahasa Arab tapi aku nggak ngerti Alquran’’ cetus dia.

Wekkkkssss….????

Apa katanya? Meyakini sesuatu yang kalian sebenarnya tidak tahu? Dan dia membandingkan kondisi sebaliknya dengan kondisi dirinya??

Sayangnya, setelah dia mengatakan hal tersebut, tiba-tiba dating konsumen lain dan minta kepada perempuan itu beberapa penjelasan. Di sisi lain, temanku juga repot mengirimkan berita/foto ke Indonesia, jadi aku mencoba untuk membantunya. Aku sempat kasak-kusuk pada temanku dengan mengatakan, aku ingin bilang sesuatu kepada perempuan itu. Tapi dia kemudian menjadi sangat sibuk…sampai akhirnya kami selesai di business center itu. Kesempatan untuk mengklarifikasi pernyataan dia pun jadi hilang…

Aku ingin bilang kepada dia, bahwa justru di situlah letak persoalan intinya. Bahwa, tahu saja belum tentu mengerti, belum tentu meyakini.. hal itu sangat bergantung pada sesuatu yang ada di dalam hatinya, niatnya dan juga upaya pemahamannya.. keinginan  untuk memikirkannya.. merenungkannya. Tak sekadar membaca, kemudian jadi paham dan yakin…

Aku, dan banyak orang Islam di seluruh dunia, mungkin tidak mengerti bahasa Arab.. tetapi kami meyakini bahwa Islam adalah wahyu Allah… mengapa? Sebab kami berpikir bahwa agama ini bukanlah buatan manusia, bahwa ajaran yang disampaikan memang benar dan kami yakin dengan penjelasannya. Bagaimana bisa yakin? Sebab kami berpikir, kami merenungkannya…

Sementara dia, hanya tahu artinya tapi tak berusaha memahami maknanya.. tak berusaha memikirkan kebenarannya… dan satu hal lagi, pernahkah dia membaca seluruh isi Alquran?

Jadi,bisa bahasa arab saja tak menjadi jaminan seseorang untuk mengerti makna Alquran dan menjadi percaya Islam lalu menjadi pemeluknya. Itu juga sudah terbukti di zaman Nabi SAW. Bukankah ketika Alquran diturunkan di tanah arab, semua orang di sana bisa membacanya, mengerti isinya… tapi mengapa masih banyak yang memerangi Islam? Padahal mereka mengetahui isinya…

Artinya adalah, bukan soal bisa bahasa Arab atau tidak.. karena poinnya bukan di situ..

Ahhhh, tapi aku senang bisa bertemu dengan perempuan itu. Meskipun aku tak sempat menjawab pertanyaannya.. Kejadian itu membawa hikmah bagiku, bahwa aku harus siap menjelaskan mengenai Islam, kapan pun, di mana pun… aku juga  jadi tahu bahwa Islam adalah sesuatu yang menarik bagi mereka di Barat sana.. karena itu, aku harus menunjukkan bahwa aku adalah muslim yang baik – paling tidak aku berikhtiar untuk menunjukkannya, bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin.. (hmmm, sesuatu yang tidak mudah, tapi bukankah setiap kita adalah khalifah di muka bumi dan punya kewajiban berdakwah…, jadi harus terus berikhtiar..).. wallahu alam.

Keluar dari zona nyaman

Bertemu dengan seorang teman lama, kami berbincang mengenai pekerjaan. Meskipun bekerja di sebuah perusahaan penerbitan yang mungkin kurang terkenal dibandingkan dengan tempat dia bekerja sebelumnya, tapi teman ini mempunyai waktu luang yang cukup, bekerja tidak terburu-buru dan mendapatkan penghasilan yang dua kali lipat dibandingkan sebelumnya. Sementara di tempat lama, ia hanya mendapatkan penghasilan  40 persen atau 35 persen dibandingkan yang sekarang, dengan beban pekerjaan yang 3 kali lebih berat. Menurut dia, pekerjaan sih sama-sama menyenangkan.. tapi yang jelas dia mendapatkan lebih banyak waktu luang sehingga lebih bisa bersosialisasi dan menikmati hidup di Jakarta yang penuh dengan beragam persoalan dan polah orang.

Yang membedakan adalah, perusahaan tempat dia bekerja… Di tempat lama, ia dibesarkan oleh nama besar perusahaannya – yang ternyata memberikan dia penghasilan yang lebih kecil. Sementara di tempat dia bekerja sekarang, memang kalah terkenal atau kalah “keren”… tapi dia dihargai lebih layak.

Pertanyaannya kemudian, apa yang kita cari untuk kehidupan kita? Kebonafidan nama besar (tapi di dalam bikin sumpek…hehehe) atau kenyamanan diri sendiri? Hal kedua yang menjadi soal, apakah kita berani keluar dari zona nyaman kita selama ini, dengan kondisi yang mapan, sudah kenal semua pihak yang bekerja sama dengan kita, dalam suasana kekeluargaan dsb sementara di tempat baru harus memulai segalanya…

Sebagian kita, termasuk aku, memang merasa ngeri untuk keluar dari zona nyaman itu.. meskipun menyadari berbagai hal yang “tak menyenangkan” di tempat kita saat ini berkarya, tetapi kita memilih untuk bertahan karena tak mau “gambling” dan keliru mengambil keputusan. Hanya saja, kita kerap kali terlalu takut sehingga kita bukannya khawatir dalam kadar wajar tetapi cemas dan mengira bahwa di luar sana, tak ada yang lebih baik…

Memang, ada temanku yang lain yang merasa “terjebak” di tempat baru.. yang dijanjikan dulu dengan yang diterima sekarang, sama sekali berbeda sehingga ia pun merasa seperti “tertipu”. Di tempat dia sekarang, memang berpenghasilan (nominal) lebih besar dari yang dulu, tetapi dia harus memberikan waktunya lebih banyak (padahal dulu dia keluar dari tempat lama karena ingin bekerja lebih leluasa) dan suasana kerja yang tidak nyaman. Oke, mari kita analisis sedikit persoalannya…

Temanku yang pertama, sebelum keluar dari tempat lama, bertanya banyak hal, ini dan itu hingga jelas, sebelum akhirnya memutuskan. Satu hal lagi, ia senantiasa berdoa kepada Allah SWT apakah ini yang terbaik baginya atau tidak… sementara teman kedua ini, belakangan mengakui bahwa dia tak terlalu banyak bertanya, dia “ceroboh” dan percaya begitu saja pada cerita temannya tanpa mengecek lebih dalam informasi yang diperoleh…

Kita lihat perbedaannya kan?

Jadi, kalau di dalam sini sudah tak ada lagi yang bisa kita pertahankan, tak ada salahnya melirik ke kanan-kiri, mencoba mempertimbangkan dunia luar dan memikirkan kemungkinan untuk keluar dari zona nyaman… tapi tentu saja, dengan pertimbangan yang matang dan please.. please.. berdoalah kepada Allah memohon yang terbaik, memohon petunjukNya.. sebab Allah akan selalu memberikan bimbinganNya, dan tak pernah keliru..

Nah, beranikah kita keluar dari zona nyaman itu? Aku baru saja melakukannya.. bagaimana dengan Anda 😀

 

Bingung Mahasiswa dan Pemerintah…

Mungkin ini sudah agak basi, tapi aku tetap ingin menulis mengenai kenaikan harga BBM belum lama ini. Sebagai reaksi dari kenaikan harga itu, mahasiswa serentak dan berkesinambungan, melakukan demonstrasi di berbagai kota.. salah satu tuntutan mereka adalah turunkan harga BBM, jika tidak.. sebaiknya SBY-JK turun saja.. mereka dinilai gagal memimpin negeri ini..

Sebagian aksi mereka anarkis, bahkan di Universitas Nasional (Unas) dan UKI berakhir dengan keributan.. sebagian mahasiswa ditahan polisi hingga saat posting ini dibuat. Menanggapi maraknya aksi tersebut, yang kini sudah mereda karena ditimpa oleh kasus lain yang lebih “seru” – kebebasan beragama, kebebasan melakukan ibadah dan Ahmadiyah—pemerintah pun mengeluarkan bantuan khusus mahasiswa (BKM) senilai Rp 500 ribu, untuk setiap mahasiswa yang kurang mampu… Bagaimana mekanismenya, aku kurang paham.. tak begitu mengikuti. Tapi buatku, kedua hal itu.. demonstrasi mahasiswa dan “kebijakan” pemerintah yang tidak bijak, sama-sama membuatku geleng-geleng kepala..

Pertama, mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa.. sebagai bagian dari masyarakat intelektual (dan, ingat.. tidak semua orang Indonesia beruntung bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi), malah melakukan aksi yang justru berkebalikan dengan ‘merek’ intelektual mereka.. sebagian aksi itu anarkis, menyerang polisi bahkan ada yang dengan menyedihkan, melakukan pemukulan kepada polisi yang tak tahu menahu urusan demonstrasi tersebut – karena hanya sedang melintas di kawasan demo tersebut – ehh, dipukuli oleh mahasiswa. Alasannya? Sebagai aksi balas dendam, karena rekan mereka di Unas ditangkapi polisi.. sungguh logika yang aneh.. dan tak bisa kupahami..

Baiklah, ada kekerasan polisi terhadap mahasiswa, tapi pertanyaannya, apakah yang menjadi akar persoalan? Apakah ketika melakukan demo, mahasiswa tidak memprovokasi polisi? Apakah melempar Molotov merupakan tindakan yang benar? Ada yang mengatakan, bahwa Molotov itu bukan dari mahasiswa…oke, tapi bagaimana dengan aksi yang menyebabkan kemacetan jalan, yang menyebabkan kerusakan fasilitas umum bahkan mungkin fasilitas pribadi milik warga?

Logikanya bagaimana.. mereka berdemo atas nama warga, atas nama rakyat tetapi justru melakukan aksinya dengan mengganggu kelancaran kegiatan warga yang mereka bela???

Bahwa perjuangan itu membutuhkan pengorbanan, okelah.. tapi bentuk pengorbanannya seperti apa?

Dari sisi aparat, mereka memang harus bertindak persuasive dan tak boleh terpancing emosi.. tetapi mahasiswa (dan masyarakat) juga harus memahami bahwa aparat haruslah melaksanakan tugasnya… Sekali lagi, aku mengecam aksi kekerasan yang dilakukan aparat, tetapi aku pribadi bertanya-tanya, apa sebenarnya akar persoalan tersebut ( yang terjadi di Unas), jika memang ada kegiatan melanggar hokum, tentu saja menjadi tugas aparat untuk bertindak tegas..

Aparat tak boleh masuk kampus? Ini juga pemahaman yang keliru.. Bahwa kegiatan akademik tak boleh diganggu oleh aparat, demi mencari kebenaran.. itu benar. Tapi aparat tak boleh masuk kampus??? Lha, kalo kegiatan di kampus tersebut memang merugikan dan bikin cemas, mengapa aparat tak boleh masuk kampus, bukankah tugas mereka untuk melakukan penyidikan dan pemeriksaan terkait hal-hal yang meresahkan warga? Sebagai contoh, kalau di kampus dipelajari bahwa “Tuhan sudah mati”, maka sebagai bagian dari ilmu pengetahuan yang coba dipelajari, polisi tak boleh menangkap dosen maupun mahasiswa yang sedang mengkaji ilmu filsafat itu… tapi kalau dibilang bahwa “Tuhan sudah mati” di sebuah orasi di lapangan kampus dan disiarkan ke mana-mana sebagai suatu ajakan, menurutku, polisi berhak memeriksa orang yang mengatakan hal tersebut sebab sudah meresahkan..

Kedua, pemerintah menanggapi aksi mahasiswa dengan “kebijakan” yang tak kalah aneh. Ujug-ujug memberikan BKM, yang sebelumnya tak pernah ada dalam skema… Ini tindakan seorang ayah yang melihat anaknya rewel terus, kemudian menjanjikan akan membelikan boneka atau sebatang coklat kalau anaknya bisa diam… Kurang lebih seperti itu.. Kalau hanya bikin “kebijakan” seperti itu, tak perlu sekolah hingga S-3, tak perlu jadi orang pintar untuk duduk di kursi menteri, anak SMA pun bisa melakukannya…

Haduhhhh…negeri yang bingung…