Monthly Archives: March 2010

Kursi Roda untuk Anton

Sore ini, wajah Anton tampak berbinar lebih dari biasanya. Bagaimana tidak? Ia mendapatkan kursi roda otomatis yang diidamkannya sejak lama…. Alhamdulillah, aku ikut senang melihatnya. Prosesi sederhana dalam rangka penyerahan kursi roda itu dilakukan di asrama kampus, dihadiri oleh beberapa perwakilan Muslim Charitable Foundation (MCF) Queensland, Bu Janeth Deen dari Queensland Muslim Welfare Association serta sang pemodifikasi kursi roda, brother Yusuf.

Pemodifikasi? Yupp…kursi roda Anton ini bukan kursi roda biasa tetapi dimodifikasi dari aslinya agar sesuai dengan kebutuhan Anton. Untuk melakukan modifikasi ini, kekuatan tangan Anton harus diukur, sehingga perlu waktu sekitar satu bulan untuk menjadikan kursi roda yang sekarang sudah diterima Anton.

Siapakah Anton? Ia adalah mahasiswa Indonesia, penerima beasiswa ADS — Australian Development Scholarship — dari pemerintah Australia. Ia mengambil jurusan master of journalism di Griffith University sejak Januari 2010 lalu. Ia datang dari kota Padang, ke Brisbane, ditemani ayahnya. Sebab pegawai negeri di kantor infokom Pemkot Padang ini memang tak bisa berangkat ke Australia sendirian… itu tadi, karena ia mengendarai kursi roda, yang manual.. yang selalu harus didorong ke mana-mana… Bahkan untuk berbagai kegiatan lain, Anton perlu bantuan ayahnya. Maka, ayahnya dengan setia mendorong kursi roda itu ke manapun Anton pergi… sesekali ayahnya bahkan menggendong Anton untuk turun dari kursi roda, misalnya saat akan naik mobil.. atau ketika pindah posisi ke tempat tidur…

Nah, sejak tiba di brisbane, Januari lalu… beberapa teman yang mengenal Anton berinisiatif untuk “mencarikan” kursi roda otomatis sehingga Anton bisa lebih bergerak leluasa sekaligus membantu ayahnya sehingga tak perlu selalu harus mendorongnya. Apalagi di Brisbane ini, fasilitas umumnya cukup ramah bagi para penyandang cacat.. jadi kalo Anton bisa mendapatkan kursi roda yang otomatis, tentulah urusan-urusan pergi ke sana ke mari atau naik bis, bisa menjadi lebih mudah. Selama ini, selama mengendarai kursi roda manual, Anton harus selalu ditemani ayahnya…sebab kursi roda ini perlu didorong…

Kebetulan kami mengenal bu janeth, yang memang lembaga yang dipimpinnya itu dibuat untuk membantu sesama muslim yang membutuhkan — di antaranya dengan membuka muslim welfare shop. Disampaikanlah niat untuk mencarikan kursi roda tersebut. Ternyata gayung bersambut… Bu Janeth yang punya link yang luas di kalangan Muslim berpengaruh di Brisbane dengan ringan hati membantu…tersambunglah dengan MCF tadi.

Setelah menunggu hampir satu bulan, kursi roda itu kini sudah bisa dikendarai oleh Anton. Kursi ini berbaterai…yang pengisiannya bisa berlangsung selama 4 sampai 6 jam. Kursi ini juga dimodifikasi sedemikian rupa sehingga di bagian belakangnya, ada roda kecil yang kalau melewati jalan yang menanjak…insya Allah akan kokoh, tidak jatuh atau terjungkal. Di bagian tangan, dibuatkan tempat untuk meletakkan tangan sehingga bisa rileks. Ada tombol-tombol yang menunjang lajunya kursi roda ini.

“Katanya kecepatan kursi roda ini 8 km per jam,” ungkap Anton sembari tersenyum. Selain itu, ada tombol indikasi jika baterai mulai melemah, ada bel, serta ada pilihan untuk menjalankan kursi roda ini lebih cepat atau lebih lambat. Menariknya, tombol tersebut bergambar kancil (untuk berjalan lebih cepat) dan bergambar kura-kura (untuk berjalan lambat)… Aku sendiri tersenyum melihat kedua tombol itu, jadi ingat cerita di masa kecil mengenai kancil dan kura-kura hehehe….

Hal lain yang aku syukuri adalah, betapa cepatnya reaksi dari saudara Muslim di Brisbane ini.. begitu mendengar kabar mengenai kebutuhan akan kursi roda bagi Anton, bu Janeth cepat bergerak..dan tanggapan dari koleganya pun tak kalah cepat. Alhamdulillah.. Aku sendiri tak mengira secepat ini… Senang juga tadi bertemu dengan mereka, saat penyerahan kursi roda itu.. aku merasakan betapa indahnya persaudaraan Islam..subhanallah.

“sekarang kamu bisa lebih mandiri,” kata bu Janeth. “ayahmu bisa beristirahat lebih banyak,” lanjutnya. Ayahnya Anton tersenyum. Anton pun tampak berseri-seri.. ”Yaa…saya bisa lebih independen sekarang.” Semoga barokah yaa…:) amin…

“Kejeblos” Buah Manggis…

Pertama kalinya sejak tinggal di Brisbane sejak tahun lalu, aku kemarin membeli rambutan dan memakannya. Subhanallah…rasanya enak sekali 🙂 rambutan memang salah satu buah kegemaranku, di antara sedikit buah yang aku suka… tapi aku nggak pernah makan rambutan di sini, sebab harganya sangat mahal. Nah, kemarin pas mampir ke Chinatown Fortitude Valley, aku melihat sebuah toko buah yang memampang “sweet rambutan” dengan harga yang masuk akal, meskipun tetap lebih mahal dibandingkan buah-buahan lainnya. jadilah, aku membeli rambutan, nggak banyak…sekadar obat kangen aja..

Kalo dipikir-pikir, tinggal di negeri ‘Barat’ seperti di Australia ini, urusan makanan ternyata berkebalikan dengan di Indonesia. Di sini, sayuran jenisnya hanya itu-itu saja, wortel, kentang, brokoli, kol dan buncis..bisa ditemukan setiap hari di swalayan maupun di sunday market (pasar yang buka setiap hari minggu, dengan harga yang miring dibandingkan dengan swalayan). Kangkung, kacang panjang apalagi bayam menjadi barang langka… Kalau ada, harganya lumayan mahal…
begitu juga dengan daging sapi dan ayam, di sini harganya lebih murah ketimbang harga sepotong tempe atau tahu! Harga tempe sebesar telapak tangan orang dewasa, sama dengan harga sekilo daging ayam… Makanya, sejak di sini… kami lebih familiar dengan ayam dan daging ketimbang tahu atau tempe…sudah gitu, rasa tempenya pun nggak seenak di Indonesia…

Hal yang sama terjadi pada buah-buahan, sebagai contoh.. seperti dibilang di atas, harga rambutan yang kemarin aku beli adalah $ 6,99 per kg sementara harga anggur merah hanya $ 2,99 per kg. Coba kalo di Indo, seikat rambutan bisa berharga Rp 2000 kalo pas musim rambutan, atau sekilo sekitar Rp 3000. Lha harga anggur merah yang ranum itu? Hmmmm paling murah Rp 25 ribu kan… itu pun kalo lagi diskon, kalo nggak diskon ato promosi, rata-rata harganya Rp 40 ribuan…
Lalu harga jambu batu (jambu bangkok) juga mahal… maklum jarang yang jual. Sampe kepikir, apa orang Australi nggak tahu kalo jambu batu itu bisa dimakan ya? hehehe.. Soalnya, aku pernah melihat di beberapa rumah yang aku lewati, ada yang punya pohon jambu batu.. buahnya sampai berjatuhan di dekat pohon, membusuk dan tak diambil sama sekali…
Harga jambu batu yang aku beli di toko cina Yuen, harganya berkisar antara $ 6.00 sampai $ 7.10 per kg… yang kalo kita beli dua buah, beratnya sudah sekilo lebih… jadi pasti bayarnya lebih dari itu. Makanya kemarin, selain lihat ada rambutan yang harganya “reasonable”..aku juga berburu jambu bangkok itu, yang ternyata harganya “cuma” $ 2,99 per kg… Kontan saja, aku memborong empat buah..:) kebetulan lagi suka makan jambu bangkok beberapa hari ini…

Ngomong-ngomong soal rambutan, aku jadi teringat cerita seorang teman… beberapa hari lalu, dia menelpon ibunya di Jakarta..dia bercerita bahwa harga rambutan di sunday market, tempat dia biasa belanja sayuran dan buah untuk kebutuhan seminggu, ternyata mahal sekali. Harganya $ 19.00 per kg ! Wuihhh… “Ibuku langsung menangis mendengar ceritaku,” ujar temanku ini. Mengapa? sebab di Jakarta, mereka punya kebun yang ditanam pohon rambutan… jumlahnya sekitar 10 pohon atau lebih. Jika musim rambutan tiba, pohon-pohon itu berbuah lebat sehingga sebagian dari buah rambutan itu dijual ke pasar…

“aku sendiri, karena sejak kecil sudah punya pohon rambutan, sama sekali nggak tertarik makan rambutan… pas liat di sunday market kemarin, aku ada rasa kepengen mencoba.. pas liat harganya, aku nggak jadi beli”, cetus temanku. Ibunya menangis, membayangkan anaknya yang “hanya” kepengen mencicipi rambutan, tak sanggup membeli buah tersebut.. sementara di rumahnya di tanah air, rambutan berlimpah sampai dijual..

Sebenarnya, soal membeli itu, bukan soal mampu dan tidak mampu… tetapi kan kita menimbang, apakah belanja kita masuk akal atau tidak? dengan budget anggaran yang terbatas, tentunya kita harus menjadi pembelanja yang bijak… Mungkin kita punya uang $ 50.00 untuk belanja, tapi apakah masuk akal hanya membeli rambutan seharga $ 19 sementara kita bisa membeli buah lain yang khasiatnya sama dengan harga cuma $ 1,99 misalnya? Dan uang lainnya bisa digunakan untuk membeli kebutuhan lain yang juga sama pentingnya… serta tidak sekadar memperturutkan ego atau “rasa kepengen” semata…?

Makanya, tadi aku dan suamiku sempet kaget plus akhirnya tertawa terbahak saat kami berdua “kejeblok” beli manggis di salah satu walayan di Garden City. Saat melihat harganya $ 3.99 kami langsung bersemangat membelinya. Tadinya suamiku bilang, “beli dua ya..” tapi aku menawar,”empat dong..” dan dia pun mengambil empat buah. Buahnya bagus, kulitnya mulus dan bersih malah cenderung mengkilat. Sambil teringat buah manggis yang kami lihat di toko buah-buahan di Fortitude Valley kemarin, kami pikir.. kok bagusan ini, dan harganya lebih masuk akal. Saat membayar di kasir, suamiku agak heran..kok bayarnya banyak bener..sementara kami hanya belanja sedikit item saja. Sambil duduk di kursi di depan swalayan itu, suami mengecek struk pembelanjaan…. dan ternyata oh ternyata…. buah manggis yang berpenampilan indah itu, harganya $ 3.99 per buah!!! bukan per kg.. Jadi kami membeli 4 buah manggis dengan harga $ 15.96.. artinya harga satu manggis itu, Rp 32 ribu lebih… hiks..hiks…

Pas kami makan, rasanya biasa aja.. maksudnya, nggak manis banget… 😦 sama aja dengan manggis di Indonesia, yag harga sekilonya nggak sampe Rp 10 ribu itu… oalahhhh… gara-gara nggak teliti melihat harganya, kami “kejeblos” juga hehehe… Saking penasarannya, suamiku balik lagi masuk ke dalam swalayan untuk mengecek… ternyata kata dia, “tulisan ‘per each’ nya di tengah… nggak jelas banget emang.. jadi kayak yang harga per kg”. ya udahlah…mau diapain lagi?

Trus sorenya seorang kenalan kami berkunjung ke rumah. Ia orang Belanda yang lahir di Indonesia dan sudah puluhan tahun tinggal di Australia. Ia melihat manggis dan bertanya berapa harganya. Aku bilang empat dolar per buah. “Hahhh? mahal sekali.. tidak masuk akal..lain kali, kalo beli terlalu mahal, dikembalikan saja…” ujar kakek ini dengan nada agak tinggi. Aku bertanya, “memang boleh?” Dia bilang boleh-boleh saja, toh kita tak tahu tadinya.. kalo harganya segitu. Hmmm, baiklah.. mungkin lain kali kami akan lebih hati-hati dan jika mendapati ada yang “kurang pas” atau “mengagetkan” harganya…kami coba untuk mengembalikannya…

Kalo sudah begini, Indonesia bener-bener terasa sebagai tanah yang kaya… buah dan makanan apa sih yang nggak ada di Indonesia? Tapi seringkali kita kurang bersyukur..selalu melihat ke luar sana, ke Barat sana.. silau bahwa di luar sana selalu lebih indah dan menyenangkan.. padahal kalo urusannya sudah perut, hmmmm..belum tentu..:)

Apa perlunya mengecap passport?

Tergelitik cerita seorang teman, mengenai teman lain yang bertanya, “Emangnya kita perlu ngecapin passport ya? saya enggak tuh…” Nah teman yang ditanya ini pun menjawab perlu. Cuma memang, seperlu apa sih, tinggal di luar negeri dan melakukan pengecapan passport kita?

Awalnya, aku juga nggak begitu peduli dengan urusan mengecap passport ini. Tapi sebagai warga negara yang berusaha menjadi baik 🙂 aku pun mengecapkan passport ku ketika ada layanan keimigrasian di Brisbane, tahun lalu… sekitar tiga bulan setelah aku tiba di kota ini. Hari itu, suami pas datang ke Brisbane, setelah menjemput dia ke bandara, aku ajak dia (yang masih kelelahan karena perjalanan panjang Jakarta-Singapura-Brisbane) untuk mengecapkan passport… sekalian maksudku. Ehhh, nggak tahunya, kalo satu keluarga, nggak perlu dateng semuanya.. cukup diwakili aja. Tahu gitu, aku bisa suruh suamiku beristirahat kan… hehehe… tapi ya udahlah, namanya juga nggak tahu.

Ketika mengecapkan passport itu, sesungguhnya kita sedang melaporkan ke KBRI atau Konjen atau perwakilannya, bahwa kita, warga negara RI sedang berada di luar negeri di kota X, tinggal di daerah Z (alamat lengkap). Selain untuk keperluan pendataan pihak KBRI, sebenarnya melaporkan keberadaan kita itu pun untuk kepentingan kita sendiri. Setidaknya, ada dua pengalaman yang aku tahu yang membuatku menyimpulkan betapa pentingnya melaporkan ke KBRI alias mengecapkan passport itu. Kalo yang agak ekstrem, contoh dari keuntungan melaporkan diri adalah jika di kota tempat kita tinggal itu ternyata ada kejadian yang tidak diinginkan, maka KBRI bisa melacak keberadaan warganya. Lha kalo nggak lapor, gimana pihak KBRI tahu ada warganya di tempat tersebut ato tidak… Tapi mudah-mudahan, hal tersebut tak perlu terjadi…

Dua contoh yang aku “alami” itu lebih ke hal-hal praktis saja, tapi sebelumnya tak pernah terpikir olehku. Yang pertama adalah, ketika seorang teman serumah (karena aku dan suami tinggal di share-house) meminta kami untuk mengambilkan paket kiriman dari Indonesia ke kantor pos setempat. Sebenarnya, paket itu dikirim ke rumah… berhubung namanya pake nama teman ini (yang kemudian pindah dari rumah kami), maka penghuni lain yang kebetulan menerima paket tersebut tentu saja mengatakan si orang ini sudah tidak tinggal di sana. Lain halnya kalo yang menerima aku ato suamiku, tentu akan kami terima sebab dia memang menitipkan pada kami.

Singkat cerita, suamiku memutuskan untuk mengambil paket tersebut ke kantor pos… dengan berbekal secarik kertas yang diberikan pihak kantor pos. Nah, setibanya di kantor pos, ternyata urusannya nggak gampang… Pihak kantor pos semula menolak memberikan paket itu, dan bilang, “ini yang mengisi form ini seharusnya si pengirim, bukan penerima” ujar petugas tersebut. Selanjutnya, ppetugas itu juga mengatakan, bahwa yang berhak mengambil paket tersebut adalah orang dengan alamat yang sama dengan alamat di dalam paket itu, meskipun namanya berbeda. Suamiku, yang memang kupesani untuk membawa passport saat ke kantor pos, lalu menunjukkan passport nya, di bagian belakang, yang tertulis alamat rumah kami tinggal, sama dengan alamat di paket itu. Jadilah paket itu bisa diambil… sementara si empunya paket, baru tiba di Brisbane sebulan kemudian. Kebayang kalo paket itu kelamaan di kantor pos, pastilah sudah dinyatakan sebagai barang hilang hehehe…

Itu satu keuntungan melaporkan keberadaan kita di luar negeri, ada alamat tempat tinggal kita… sehingga bisa dipakai sebagai bukti resmi, untuk urusan resmi pula. Makanya, jika pindah alamat, sebaiknya kita pun melaporkan ke pihak KBRI. Di Brisbane ini, layanan keimigrasian dilakukan setiap tiga bulan sekali… Jadi kalo dalam 6 bulan atau setahun pindah alamat, ya laporlah….

Pengalaman yang lain adalah, ketika ada seorang kenalanku yang sudah menjadi permanent resident (PR) di australia ini, kehilangan passportnya. Saat itu, dia pulang ke Indonesia, tepatnya ke Makassar. Nah passport tersebut terjatuh di dalam taksi yang digunakannya untuk ke rumahnya. Tahukah? di mana informasi mengenai passport teman ini diperoleh? Aku memperolehnya dari mailing list ADS-placement. Saat itu aku yang jarang buka email tersebut, ‘terketuk’ dengan subject berjudul : ditemukan passport atas nama “M”. aku merasa kenal nama itu, lalu aku buka emailnya… benar, alamatnya berada di brisbane, tak jauh dari rumahku. lalu aku mengontak si pengirim email dan mengatakan bahwa, alamat rumah di passport tersebut adalah alamat di Brisbane, bukan di Canberra (seperti yang dibilang di email tersebut).

Aku sempat berpikir, kok bisa si passport ada di Canberra, sementara mbak M ini pulang ke Indonesia, bahkan dia bilang dia pulang ke Solo. Ternyata, dari email yang aku kirim itu, aku mendapat jawaban bahwa : passport itu tidak ditemukan di Canberra, tetapi di Makassar, di dalam sebuah taksi! Nah manager perusahaan taksi itu, adalah kenalannya mbak pengirim email tersebut.
Wooowww…. panjang benar perjalanan passport ini ya?

Lalu aku menghubungi beberapa teman lain yang mengenal mbak M, untuk mengontak beliau dan mengatakan mengenai kejadian tersebut. Dari situ, aku baru tahu bahwa mbak M ini, dari Solo memang menuju Makassar.

Beberapa waktu kemudian, si mbak M ini sudah kembali ke Brisbane, dan bercerita padaku bahwa “Alhamdulillah, ketemu passportnya. saya nggak merasa passport itu hilang di dalam taksi sebab saya nggak mengeluarkannya. Mungkin terjatuh pas saya mau bayar taksi”. Bahkan yang lebih menarik lagi, si passport ini nggak terjatuh di kursi tetapi di karpet, di lantai mobil. Baru ketahuan ada passport itu ketika si mobil taksi akan dibersihkan…Bayangkan… kalo taksinya nggak pernah dibersihkan, passport itu nggak ketemu hehehe…

Bayangkan juga, kalo mbak M ini tak pernah melaporkan keberadaannya di Brisbane, maka passportnya akan hilang tak berbekas. “Saya bingung juga waktu itu, mau bikin lagi.. saya udah nggak punya KTP Indonesia,” ujarnya. Ia tak punya KTP Indonesia, sebab sudah berstatus PR di Australia….Alhamdulillah, masih rezeki ya mbak…:) Kalo enggak, hmmmm…kebayang ribetnya mengurus KTP mulai dari RT, RW, kelurahan dan seterusnya..belum lagi lamanya waktu yang dibutuhkan untuk selembar kartu identitas itu… Lalu setelah itu, ia harus ke imigrasi pula… menunggu lagi….panjang banget deh jalurnya…:)

Dari kedua kejadian itu, aku merasakan betapa pentingnya melaporkan diri ke KBRI, untuk dicapkan passportnya. Memang agak repot, harus datang ke tempat tertentu, belum lagi antrean yang panjang… tapi kalo melihat manfaatnya, semua itu terbayar..insya Allah…

Facebook..oh Facebook

Sebenarnya udah lama pengen nulis soal Facebook ini, dan keinginan itu muncul kembali kemarin..pas ketemu seorang teman lama. Dia bercerita bahwa “aku dah nggak fesbukan lagi mbak” katanya. Wahhhh…aku merasa kaget juga, soalnya teman ini cukup aktif ber-fesbuk selama ini.. di sisi lain, aku sendiri tak begitu aktif fesbukan… selain akses internet sering nggak mendukung, juga karena aku merasa nggak begitu pandai untuk berkata-kata, berbalas kata di media jejaring sosial ini…

Awalnya, aku berfesbukan pun karena kebutuhan mencari teman atau kenalan baru, saat aku akan berangkat ke Brisbane… Padahal, sudah sejak lama teman-temanku meng-invite untuk berfesbuk ria… tapi aku enggan. sebelumnya, aku punya account di Hi5 dan lama-lama males… hehehe… jadi aku pikir, kemungkinan fesbuk ini sama saja… Tapi aku keliru, rupanya Facebook lebih oke dan lebih menarik dibandingkan Hi5….banyak orang pun “terperangkap” dalam kegiatan berfesbuk ria…
Aku juga merasakan fesbuk ini sebagai hiburan yang “lumayan” ketika awal tiba di Brisbane, dan sendirian.. artinya suamiku masih di Bandung… fesbuk menjadi hiburan buat mengisi waktu luang, ketimbang bengong atau mikirin kangen keluarga di Bandung… lebih baik aku beraktivitas di dunia maya ini….
Yang terasa banget waktu itu, ya obat kangen ke keluarga di Bandung-lah…. via fesbukan dengan adikku, aku bisa kirim foto-foto yang kemudian dilihat orang tuaku… juga tentunya bisa berkomunikasi dengan suamiku lebih intens…bahkan bisa bercanda dengan beberapa keponakan yang sudah bisa berfesbuk..

Hasil yang lain, bertemu dengan teman-teman SMA di Kalimantan, teman-teman kuliah di Malang, bahkan belakangan bertemu dengan teman-teman SMP di Cirebon……sehingga silaturahmi dengan teman-teman lama, bahkan sebagian sudah “terlupakan” terjalin lagi dengan biaya yang sangat murah… Bukankah itu bagus? Keuntungan lain, bisa tahu kabar mengenai teman-teman tersebut melalui status yang mereka pasang, atau melalui foto dan informasi lain yang mereka tulis di account mereka…

Tapi pada dasarnya aku memang tak begitu suka berlama-lama dengan fesbuk.. jadi saat suamiku sudah tiba di Brisbane, dan kuliah dimulai… aku mulai jarang fesbukan. Apalagi, sebagian teman kemudian seperti “kecanduan” dengan fesbuk… setiap jam meng-update status mereka… wuihhhh, bacanya juga kadang sampe pegel…hehehe. Hey, tapi aku nggak bermaksud rese, itu sih terserah masing-masing saja…. cuma kalo aku, nggak begitu berminat lama-lama di depan komputer untuk fesbukan….

Kemudian, terdengar kabar bahwa terjadi kejahatan akibat fesbuk… hmmmmm, ini sebuah peringatan… Kita tak perlu menginformasikan segala hal tentang kita sedetailnya di fesbuk kan? Kalo menurut seorang teman, membuka account difesbuk, sama dengan mengizinkan agen intelijen mengetahui siapa kita… sebab dengan melihat account di fesbuk, jadi ketahuan… siapa jati diri kita, alamat email dan informasi pribadi lainnya, foto diri kita, siapa teman-teman kita… Bukankah, informasi seperti itu yang antara lain, dicari oleh intel 🙂
Tetapi juga ada kabar bahwa, dalam suatu kejadian, seperti kecelakaan atau gempa….korban bisa ditolong sebab dia meng-update status.. dan kemudian dibaca temannya…

Kalo sudah begini, aku tak akan mengatakan fesbuk itu negatif…atau sebaliknya, fesbuk itu positif… itu tergantung dari bagaimana kita memanfaatkannya… Sebab fesbuk hanyalah alat, hanya teknologi yang penggunaannya sangatlah tergantung manusia yang ada di belakangnya… Sama seperti pisau, bisa dipakai untuk mengiris buah dan sayur tetapi bisa juga dipakai untuk melukai orang bahkan membunuh…

Yang juga menarik aku cermati adalah, aku mengenal beberapa teman yang mengatakan, bahwa ia tak mau berfesbuk sebab “menyita waktu” atau bahkan lebih ekstrem lagi berujar “itu lebih banyak mudharor-nya… sebab dipake buat pacaran, yang dilarang agama.. bisa dipake buat selingkuh, dan bohong bisa bersosialisasi di fesbuk.. mendingan ketemu langsung, kalo mau silaturahmi…”
Tetapi ternyata kemudian, dengan satu atau beberapa alasan, mereka akhirnya terjun juga di fesbuk… tak cuma itu, aku cermati… mereka menjadi jauh lebih aktif ketimbang orang lain hehehehe… Mungkin mereka lupa pernah mencela fesbuk, atau mungkin saat berkata nggak tau, betapa fesbuk bisa memabukkan…:)
Upppsss…kok aku jadi rese lagi…:(

Nah, balik lagi ke awal tulisan, temanku ini berkata bahwa ia menghentikan berfesbuk ria, sebab akhirnya jadi nggak kondusif buat dirinya dan juga hubungannya dengan pasangannya. Hmmmm…menarik ya? Dia bilang bahwa berteman di fesbuk, tidak murni… mereka hanya ingin dikomentari yang manis-manis sementara kalo mengomentari kita, justru sebaliknya. Lalu kalo dia tak sempat menengok fesbuk dalam beberapa jam, sehingga tak sempat memberikan komentar di status teman-temannya, dia mendapat “serbuan” pertanyaan… kenapa tak mengomentari, apakah marah atau apakah ada yang salah dsb.. Ujung-ujungnya dia pun menjadi kerap uring-uringan di rumah… suasana rumah menjadi kurang menyenangkan..dan pasangannya pun komplain. Singkat cerita, mereka berdua pun bersepakat untuk menutup account fesbuk tersebut… “Lebih murni berteman langsung, bukan yang bertemu di fesbuk…” ujarnya.

Ia pun mengaku lebih tenang setelah tidak fesbukan… “Saya bilang kepada teman-teman di fesbuk, bukannya tak mau berteman lagi dengan kalian…kalo ada acara tetep saya dikabari, tapi via telpon” katanya lagi.

Aku sih berpikir, dalam segala hal kita tak boleh berlebihan… agama pun mengajarkan demikian..bahkan dalam beragama pun, kita dianjurkan untuk tidak berlebihan… apalagi dalam urusan-urusan duniawi atau urusan yang mubah (dalam kacamata agama). makan pun kalo kebanyakan, bisa menjadi penyakit..padahal makan itu kan kebutuhan kita…
Maka aku merasa jalan yang aku pilih, untuk tak terlalu aktif di fesbuk… sebagai jalan tengah yang pas buatku. secara pribadi aku lebih suka ber-email dengan teman-teman…tapi kadang kebutuhan untuk mengontak teman via fesbuk juga tak terhindarkan… akhirnya, kembali kepada diri kita masing-masing, sebab facebook hanya alat, hanya teknologi… kitalah yang punya peranan sangat penting dalam memainkannya sekaligus menerima risikonya…

source of logos : google.com (dept.kent.edu; stmaryblackburn.ac.uk; blogs.trb.com)

Subhanallah, aku hamil

Kemarin, jalan kaki sendirian menuju terminal bis… deket rumah.. jalan pelan-pelan…dan menikmati udara yang tak terlalu panas. Hmmm..tiba-tiba merasa takjub bahwa sekarag aku sedang hamil empat bulan 🙂 Subhanallah…

Kami berdua, suamiku dan aku, tak pernah berpikir mengenai mempunyai anak.. Bukan kami tak mau, tapi kami berusaha lebih realistis. Ada beberapa alasan, yang paling utama adalah kami berdua menyadari bahwa anak bukanlah hal terpenting dalam sebuah pernikahan.. kami sepakat mengenai hal tersebut, sejak sebelum kami memutuskan untuk menikah. Kami menyadari bahwa anak adalah titipan Allah SWT, nah kalo masalah dititipi ato ndak yang terserah Yang Punya kan? Jadi sejak menikah sekitar 2,5 tahun lalu.. kami nyaris tak pernah membicarakan soal anak… Kadang memang bercanda, “kayaknya seru ya kalo punya anak…” demikian kira-kira obrolan kami berdua… tapi kemudian kami mengatakan juga bahwa semua terserah Allah saja… yang terbaik untuk kami..pasti akan diberikan-Nya..

Bukannya tak pernah ada pertanyaan mengenai “kok belum isi?” atau “ayo segera punya anak, biar rumah lebih ramai” dan seterusnya.. bahkan ada yang bilang, “buruan punya anak, ntar keburu tua…” kami berdua menghadapi dengan senyuman saja… Kalo kira-kira kalimatnya nggak mengenakkan, suamiku dengan bijak akan menjawab sapaan soal anak itu dengan caranya yang khas…:)

Alasan lain, secara tradisi atau mungkin apa ya, kesehatan… hmmm, kami berdua memang menikah di usia yang tidak lagi muda.. Ketika menikah 2,5 tahun lalu, usiaku 34 tahun… beda satu tahun dengan suamiku. Di Indonesia, orang dengan usia segitu sudah tidak membicarakan punya anak lagi, tapi membesarkan anak 😀 jadi kamipun tidak ngoyo… Tentunya tetap berikhtiar tapi itu tadi, landasan paling pokok bagi kami adalah Allah yang menentukan pasangan mana yang dititipi anak dan mana yang belum… Jadi kami tak terlalu berpikir yang jauh.. Insya Allah, masih banyak ladang amal yang lain yang bisa dilakukan, meskipun tak dititipi anak oleh Allah SWT..

Makanya, ketika mengetahui bahwa aku hamil… kami berdua terharu… subhanallah… Di usiaku yang kini 37 tahun, aku hamil untuk pertama kalinya… Kalo menurut dokter yang merawatku di sini, di Brisbane… usiaku bukan usia rawan untuk hamil. Sebab ternyata, di Australia ini adalah hal yang lazim bagi pasangan-pasangan untuk mempunyai anak di usia mereka yang sudah di atas 30 tahun. Umumnya, kata seorang kenalanku, pasangan menunda mempunyai anak sebab mengejar karir dulu atau ingin mapan secara finansial dulu… Jadi ketika aku bertanya pada dokter mengenai usiaku, dia bilang “nggak ada masalah dengan usiamu..” Alhamdulillah…

Kini kami berdua memasuki babak baru dalam kehidupan kami…kadang masih takjub juga…
Sebagian orang mengatakan, udara Brisbane cocok untuk kami sehingga aku bisa hamil… sebagian teman lain berkata, mungkin karena kalian tak memikirkannya, karena kalian santai, maka justru diberikan anak.. kalo stress, malah susah…
Aku nggak tau dengan semua teori itu, yang aku tau pasti.. ini sudah rencanaNya… bagaimana tidak? Kehamilanku ini membuatku tak bisa bergerak banyak selama 3 bulan pertama.. aku mual, muntah dan nggak bisa makan.. berat badanku turun sampai 5 kg selama 3 bulan pertama… Tetapi Allah sudah mengaturnya sedemikian rupa… aku hamil di saat sedang liburan. Jadi, selama 3 bulan pertama kehamilan bersamaan dengan liburan musim panas (summer holiday) yang lamanya hampir 4 bulan… Alhamdulillah, kuliah tidak terganggu sama sekali, sebab memang aku tak perlu kuliah… Coba bayangkan, tanpa skenarioNya, mana mungkin ini terjadi? Apalagi hamil pertama, jauh dari orang tua dan sanak saudara…. Tapi Alhamdulillah selalu ada jalan keluar yang baik, sebab Allah sudah mengatur semuanya… subhanallah..

Contoh paling gampang adalah, saat ini.. usia kehamilanku 4,5 bulan… setelah melewati 3,5 bulan yang penuh dengan perjuangan (nggak bisa makan dan badan lemes, nggak bisa buka internet karena mual dan pusing, lalu sebentar-sebentar muntah….) aku mulai bisa makan.. belum banyak tapi Alhamdulillah, sudah tidak sering dikeluarkan lagi. Nah, aku jadi lebih doyan masakan Padang… duhhhh, di Brisbane ini.. restoran Indonesia kan cuma bisa diitung dengan jari.. Ehhhh, kok ndilalah resto yang paling deket dengan rumahku, menyediakan menu baru..masakan Padang! jadilah, aku bisa menyantap masakan Padang yang aku inginkan…

Tapi itu belum seberapa… rencana Allah jauh lebih sempurna dari yang kuduga… ternyata bapak koki yang masak di resto itu, akhirnya tinggal bersama di share-house kami… lalu istrinya si bapak koki ini (yang asli Padang dua-duanya) juga ikut tinggal di share-house kami.. artinya apa? Artinya, aku bisa makan lebih banyak masakan padang, sebab si ibu ini kalo masak ya masakan padang dan sering berbagi masakannya kepada kami… Jadi makan masakan Padang gratis deh aku…hehehe… Sebab si ibu ini sering ngobrol dengan kami (suamiku tepatnya…sebab mereka bisa ngobrol bahasa Minang..sementara aku kan ggak bisa…)
Aku nggak pernah menduganya.. bagiku, ketika dengar bahwa resto Indonesia di dekat rumah itu jualan nasi Padang saja, aku sudah senang… ehhhh, malah dikirim ibu-bapak yang orang Padang asli dan pandai memasak masakan padang…:)

“Maka nikmat Allah yang manakah yang hendak kamu dustakan?” (QS. 55- Ar-Rahmaan : 18)

semoga aku senantiasa bersyukur… amin.