Makanan Halal atau Meragukan

Beberapa hari lalu, suamiku membawa seplastik kue bolu yang bertuliskan ‘kek’ alias ‘cake’. Mungkin pemberinya ingin menghadiahkannya kepada anakku yang usianya masih 21 bulan itu. Tapi suamiku mengingatkan untuk mengecek bahan-bahan pembuatnya (ingredients) dari ‘kek’ tersebut. Pagi keesokan harinya, aku cek dan ternyata tidak mencantumkan label halal. Selain itu saat aku cek bahan-bahan pembuatnya, ada tulisan ‘emulsifier’ atau pengemulsi yang rentan bahan tidak halal.

Saat kuceritakan pada suamiku, iapun bilang bahwa ‘kek’ yang jumlahnya 10 bungkus kecil-kecil itu akan dibuangnya. Aku setuju saja. Namun ibuku bertanya, adikku juga ikut penasaran karena mendengar perbincangan antara suami dan aku. Mereka ikut mengecek.

Sejak tinggal di Australia, kami terbiasa untuk mengecek ingredients makanan yang akan kami konsumsi. Di sana, hal tersebut merupakan suatu yang ‘wajib’ sebagai bagian dari kehati-hatian sebagai muslim – bukan sok suci, tapi sebagai ikhtiar melaksanakan yang diperintahkan semampunya. Ketika kembali ke Bandung, kami masih kerap menerapkan hal tersebut terutama untuk makanan dalam kemasan yang kami ragukan penampilannya 🙂

Maksudnya, seperti ‘kek’ tadi… mereknya tidak terkenal, lalu bungkusannya juga agak unik. Meskipun produksi Tangerang, tapi ternyata itu tadi..setelah dicek seperti itu adanya. “Kita buang aja, kalo kita kasihkan ke orang lain, artinya kita pun memberikan makanan yang tidak jelas kehalalannya kepada orang lain,” demikian kesimpulan kami. Bahwa setelah dibuang ada yang memungut atau berminat, ya itu sudah di luar kuasa kami.

Soal di luar kuasa kami ini, jadi teringat obrolan via milis dengan teman beberapa waktu lalu. Seorang teman bertanya soal apakah makanan jenis x ini halal atau tidak. Minta pendapat teman-teman dan aku tertarik untuk memberikan masukan. Aku bilang, jika ragu, tinggalkan. Sementara teman lain mengatakan, kenapa tidak berbaik sangka, selama memang tak ada tulisannya babi atau bahan dari hewan tersebut, ya makan saja. Kemudian teman yang bertanya ini mengungkapkan bahwa saat itu dia dalam kondisi lapar berat dan tak ada makanan lain selain makanan x ini, jadi dia santap saja.

Dalam pandanganku, kalo kondisi seperti itu tentu lain persoalan. Dia tak menjelaskan sejak awal bahwa kondisinya seperti itu…hanya bertanya, bagaimana pendapat jika ada makanan yang meragukan. Padahal setahuku, dalam Islam diajarkan, jika memang terpaksa kita boleh memakan yang dilarang demi mempertahankan hidup. Tapi aku tak mau berpanjang-panjang menanggapinya…

Ahhh, memang akhirnya kembali kepada masing-masing orang dan keyakinannya. Aku dan keluarga kecilku, tak hendak bilang bahwa kami ini soleh dan taat kepada Allah swt sehingga meninggalkan semua yang meragukan. Tak persis demikian, sebab kami juga sangat banyak kekurangan dalam beribadah kepada Allah. Tapi kami berikhtiar dari yang bisa kami lakukan untuk melaksanakan perintahNya, kami coba lakukan yang terbaik dalam kapasitas kami.

Ada yang berpendapat bahwa semua hewan yang disembelih, asalkan itu bukan babi, dimasukkan dalam kategori halal. Sementara yang lain – temasuk aku dan keluargaku – lebih memilih untuk berhati-hati dengan hanya membeli daging halal di toko daging halal atau memilih makanan yang berlabel halal – saat di Australia terutama. Bahkan kemudian ternyata label halal itu disalahgunakan – artinya sebenarnya belum lulus uji kehalalan tetapi ditulis halal – menurutku, sebagai orang awam, kemampuan kita hanya sebatas itu. Jika ada yang berbohong dengan label halal itu, ya dia yang menanggung dosanya.

Memang ada pula yang berpendapat, label halal – terutama di Indonesia — dibuat ribet sehingga tak semua orang bisa mendapatkannya – terlalu banyak birokrasi dan sejenisnya. Sehingga, kata kelompok ini, untuk apa mempersulit diri dengan urusan seperti itu. Berbaik sangka saja, asalkan tidak ada babinya, maka insya Allah halal.

Untuk hal ini, aku teringat kata-kata anak dari seorang teman. Temanku ini, sangat doyan minum kopi dan oleh dokter dia dilarang minum kopi untuk menjaga kesehatannya. Namun tentu saja sulit untuk berhenti begitu saja. Kemudian anak perempuannya, berkata kurang lebih seperti ini,”Bu..tahan minum kopinya sekarang demi kesehatan ibu. Paling beberapa puluh tahun saja. Nanti di surga kalo orang lain berenang di kolam susu, ibu berenang di kolam kopi.”

Saat mendengar cerita tersebut, aku tersenyum dan salut pada anak ini, yang ketika itu usianya mungkin baru sepuluh tahun. Aku kemudian menganalogikan hal tersebut dalam kasus makanan halal… Mengapa kita tak bisa menahan diri untuk tidak makan makanan yang meragukan? Padahal yang dibolehkan dan jelas-jelas boleh itu sangat banyak ketimbang yang haram atau meragukan. Ini hanya pendapatku yang awam. Wallahu alam

sumber gambar :
1. http://vimeo.com/halal
2.http://blogs.reuters.com/faithworld/2012/02/20/french-far-right-turns-to-halal-meat-as-next-political-wedge-issue/
3. http://muslimvillage.com/id/2011/10/05/branding-halal-the-rise-of-the-young-muslim-consumer/

Leave a comment