Apakah Kita Keliru Memaknai Ramadhan?

Image

Kok tumben, lama ke pasarnya?” tanyaku kepada ibuku tadi pagi.

“Bingung milih,” sahut beliau.

Biasanya, kalau ke pasar pagi-pagi, ibuku hanya membutuhkan waktu sebentar karena pasar Kosambi – yang letasknya tak jauh dari rumah kami — di pagi hari adalah pasar tumpah sehingga para pedagangnya berjualan di tepi jalan raya bahkan memakan sebagian jalan raya – makanya disebut pasar tumpah, sebab tumpah ke jalanan.  Hal ini mempermudah untuk berbelanja sebab tak perlu masuk ke dalam bangunan/gedung pasar.

Tapi tadi pagi, beliau membutuhkan waktu yang lebih lama… makanya aku bertanya.

Mendengar jawaban beliau, aku tersenyum.

“Bingung milih, semua mahal-mahal… harga-harga naik gila-gilaan,” sambung ibu seraya menyebutkan beberapa jenis bahan makanan yang naik drasti hingga mencapai Rp 5 ribu rupiah per kg, seperti ayam. Sementara sayuran pun tak mau kalah, ikutan-ikutan melonjak harganya.

“Dulu nggak begini-begini banget kalo mau puasa, kok sekarang begini..” ibu menambahkan. Aku terdiam, tak mau menjawab.

Justru aku merenung saat mendengar semua itu. Sejak beberapa hari ini memang soal harga-harga yang naik menjadi perbincangan para ibu rumah tangga. Selalu, setiap kali menjelang Ramadhan harga-harga akan berlomba-lomba naik, kadang tak terkendali.

Iya, mungkin naiknya seribu perak atau paling banter 5 ribu perak saja, tapi ingat..semuanya naik. Jadi jatah belanja per hari misalnya Rp 30 ribu, tak akan cukup untuk membeli bahan makanan yang sama jika semua harga naik. Kenaikan seribu atau dua ribu rupiah adalah hal besar sebab makanan adalah kebutuhan pokok sehari-hari di sisi lain pembelian bahan makanan tersebut tetap harus dilakukan.

Memang ada cara lain untuk mengatasi, yakni mengganti menu makanan kita. Jika semula ayam dan telur, maka diganti dengan tempe saja atau tahu saja… atau porsinya dikurangi, tetapi tetap saja..semua harganya naik!

Image

Pikiranku menerawang. Mengapa setiap Ramadhan tiba, harga-harga naik? Mengapa menjelang Lebaran, harga-harga naik lagi? Uang THR (tunjangan hari raya) yang diterima, seringkali tak berbekas karena untuk membeli bahan makanan dan sedikit kue saja, sudah habis. Belum lagi jika anak dan keponakan ingin membeli baju baru… Ludes deh uang THR itu…

Aku berpikir, kemungkinan semua ini disebabkan oleh kesalahan kita sendiri sebagai umat Islam, khususnya sebagai konsumen. Kita telah keliru memaknai Ramadhan. Menganggap bahwa keistimewaan  Ramadhan plus Lebaran harus dirayakan dengan segala yang konsumtif. Padahal agama mengajarkan, keistimewaan Ramadhan itu karena keutamaan beribadah di dalam bulan suci ini.

Akibatnya, menjelang Ramadhan kita segera membeli banyak bahan makanan sebab akan melakukan tradisi ‘munggahan’ kalau di budaya sunda – kebiasaan makan bersama sebelum bulan Ramadhan tiba. Lihat saja, menjelang ramadhan tiba, banyak majelis pengajian mengadakan acara makan bersama, kantor-kantor atau institusi melakukan kegiatan piknik bersama saat menjelang bulan ramadhan. “Kan ntar sebulan kita ga makan siang, ga bisa pergi berenang siang hari, ga bisa makan-makan siang hari bareng teman-teman…” dan seterusnya…kira-kira begitu alasannya.

Atau karena hari pertama Ramadhan, maka menu makanan berbuka dan untuk sahur haruslah istimewa. Jadilah keinginan tersebut dijawab dengan kenaikan harga oleh para pedagang.

Saat Lebaran juga dianggap sebagai hari kebebasan mengonsumsi segala macam dan rumah harus dipenuhi dengan makanan enak-enak sehingga lagi-lagi harga-harga naik.Pakaian juga harus baru… Memang agama mengajarkan untuk mengenakan pakaian yang indah saat shalat iedul fitri, tetapi tak dikatakan harus baru kan?

Kita masih keliru memaknai Ramadhan dan Lebaran dengan hal-hal yang bersifat fisik dan konsumtif. Akibatnya itu tadi, kita dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang pandai mengambil keuntungan dari situasi….wallahu alam.

 

 sumber foto :

1. http://submission.org/#/d/Fasting.html

2. http://islamstory.com/en/node/35122

Leave a comment