Sekolah Anakku

Image

Saat pembagian hasil belajar (raport) minggu lalu, sambil menunggu acara dimulai, seorang guru di sekolah anakku, menjelaskan mengenai beberapa hal terkait “kelebihan” sekolah tersebut. Hal ini mengingatkanku pada penjelasan serupa setahun yang lalu. Aku terkesan mendengarnya… sekaligus bersyukur karena mendapatkan sekolah yang cukup sesuai dengan harapanku. Padahal, dulu, saat aku mendaftarkan anakku ke sekolah tersebut, alasannya sederhana. Sekolah tersebut adalah sekolah negeri dan lokasinya dekat dengan tempat tinggal kami.

Sang guru menjelaskan bahwa sekolah ini merupakan satu-satunya sekolah taman kanak-kanak (TK) yang tidak pernah memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada murid-muridnya. “Di sini, semua anak senang karena bermain sambil belajar,” ujar sang guru di depan para orang tua murid – yang sebagian besar sibuk ngobrol sendiri hehehe.

Saat mendengar penjelasan tersebut, hatiku langsung berbunga. Bukan apa-apa, saat masuk ke sekolah ini, anakku baru berusia dua tahun dua bulan (2 tahun 2 bulan). Ia sendiri yang minta disekolahkan. Lumayan sulit juga meyakinkan sekolah-sekolah agar menerima anakku yang usianya belum 2,5 tahun itu. Bertanya ke beberapa PAUD dan kelompok bermain di kawasan dekat rumah, anakku ditolak karena masih terlalu kecil. Saat ke sekolah ini pun, staf administrasinya menolak karena lagi-lagi usia anakku terlalu muda. Katanya, usia minimal adalah 2,5 tahun yang berarti saat itu anakku kurang empat bulan. Namun aku meyakinkan bahwa anakku sudah siap untuk sekolah.

Akhirnya pihak administrasi dan beberapa guru memintaku bertemu dengan kepala sekolahnya. Beberapa hari kemudian, kami berhasil bertemu dengan ibu kepala sekolah yang cukup visioner. Saat aku menjelaskan maksudku untuk “menitipkan” anakku di sekolah tersebut, kepala sekolah langsung bilang,”oiya…tidak apa-apa. Bisa. Dia sudah kelihatan mandiri. Boleh (daftar) sekolah…. Tapi nanti agak lama di sininya yaa…”. Alhamdulillah, aku mengucapkan terima kasih. Tak masalah kalau anakku akan lama berada di sekolah tersebut, karena usianya masih muda saat masuk. Yang penting, rengekan anakku untuk bersekolah bisa dipenuhi.

Aku bukan orangtua yang selalu mengiyakan keinginan anakku karena aku dan suamiku bertekad untuk mendidiknya menjadi anak yang tidak manja. Tetapi, kalau dia merengek jam dua dini hari, ingin sekolah, dan itu dilakukan berhari-hari setiap hari, ya aku harus mencari solusinya. Karenanya saat kepala sekolah mengatakan anakku sudah siap untuk sekolah, aku lega sekali. Hal itu dibuktikan oleh anakku saat hari pertama sekolah. Jika banyak orangtua yang harus meyakinkan anak-anaknya bahwa sekolah itu menyenangkan, maka anakku justru sebaliknya.

Di hari pertama sekolah, saat aku antarkan.. ia langsung duduk di kursi di dalam kelasnya dan mengambil salah satu buku di rak buku. Saat aku menyelesaikan administrasi, dan menengoknya di dalam kelas. Ia hanya menoleh, melambaikan tangan dan berkata,”Ibu.. aku sekolah dulu ya.” Haduhhhh, anakku….ibu sudah membayangkan pelukanmu, ehh malah dicuekin hehehe…

Guru-guru di sekolah itu dan kepala sekolahnya dibuat heran dengan tingkah anakku. Kok bisa anak sekecil itu, sudah sangat mandiri… tak mau ditunggui orangtuanya di sekolah. Kepala sekolah mengatakan, baru kali ini ada anak yang bersikap seperti itu. Makanya saat akhir tahun ajaran, aku diminta untuk sharing kepada orangtua murid lainnya mengenai cara mendidik anakku sehingga mandiri. Waduhhhh, aku dan suamiku langsung bingung. Kami berdua tak pernah mendidiknya secara khusus. Apalagi banyak orangtua di sekolah tersebut yang punya anak lebih dari satu dan pasti sudah berpengalaman mengasuh anak.

Tapi karena dipaksa untuk sharing, tahun lalu saat akhir masa sekolah, aku bicara sedikit. Memang kami memberikan kesempatan pada anak kami untuk berkembang. Meskipun kecil, dia tetaplah pribadi yang utuh. Kami berusaha untuk menjelaskan sesuatu padanya dengan menghargainya sebagai seorang pribadi, bukan anak kecil. Karena itu, dia tak pernah cadel, karena kami tak mengajarinya untuk bicara seperti itu. Kami perbaiki bicaranya jika ia keliru dan tidak membiarkannya dalam kesalahan tersebut dengan alasan lucu kedengarannya, atau ahh ini kan anak kecil. Kami juga tak melarangnya yang masih berusia dua tahun untuk memakai baju sendiri atau kaos kaki sendiri, meskipun butuh waktu yang sangat lamaaaaa. Atau saat dia ingin makan sendiri, meskipun jadinya lantai penuh dengan nasi atau remeh makanan, kami izinkan sebab itu membantunya untuk menjadi mandiri. Soal nasi berantakan sih bisa disapu dan dipel 🙂

Kembali lagi ke sekolah ini, sang guru menjelaskan bahwa di kelompok bermain (play group) anak-anak memang hanya bermain, tidak belajar membaca atau menulis. Alhamdulillah, justru yang seperti ini yang aku cari. Banyak orang tua yang ingin anaknya pintar membaca dan menulis sejak TK sehingga dileskan privat, aku penganut aliran sebaliknya. Aku percaya bahwa semua ada waktunya. Apalagi sekarang ini beredar kajian bahwa anak di usia balita sebaiknya memang tak diajari menulis dan membaca. Hal ini sejalan juga dengan aturan Diknas yang melarang SD mensyaratkan kemampuan baca-tulis untuk anak yang masuk SD.

Sekolah ini, meskipun negeri tetapi menjadi sekolah taman kanak-kanak percontohan. Banyak kunjungan dari berbagai sekolah atau lembaga pendidikan dari berbagai kota di Indonesia, yan ingin melihat bagaimana cara belajar dan bermain di sekolah ini, kok bisa memberikan pendidikan tanpa membebani siswanya – alias tak ada PR untuk murid tetapi anak-anaknya tetap siap masuk SD saat usianya sudah memenuhi syarat untuk masuk SD.

Di sekolah ini, orangtua murid juga tak boleh masuk ke halaman sekolah saat jam belajar berjalan. Sang guru bercerita bahwa saat ada kunjungan dari salah satu sekolah dari luar Pulau Jawa, tamu tersebut heran melihatnya. “ini seperti bukan TK tetapi seperti sekolah orang dewasa. Tidak terdengar suara anak-anak saat jam pelajaran,” ujar sang tamu. Karena sekolah menerapkan pendidikan yang membuat anak-anak mau bersikap manis di dalam kelas. Begitu jam istirahat, terdengar suara anak-anak berteriak, berlari-lari dan bertingkah layaknya anak-anak usia playgroup dan taman kanak-kanak, ujar sang guru, barulah tamu-tamu tersebut percaya bahwa ini memang sekolah taman kanak-kanak 😀

Banyak orangtua murid dari lokasi yang cukup jauh dari sekolah ini menyekolahkan anaknya di sini, karena mengetahui reputasi sekolah ini dan juga kebijakan sang kepala sekolah. Aku bersyukur sekolah ini lokasinya dekat dengan tempat tinggal kami. Aku menulis ini, untuk memberikan pandangan bagi para orang tua di Bandung yang sering kebingungan mencari sekolah yang baik bagi anaknya, mungkin sekolah ini bisa menjadi salah satu alternatif. Sekolah negeri sehingga biayanya juga terjangkau, tetapi kualitas pendidikannya cukup bagus. Hingga saat ini anakku sudah dua tahun sekolah di sini, dan inshaAllah tahun ajaran baru nanti dia akan masuk kelas TK A alias kelas nol kecil…Pengalaman baru lagi buat dia karena sekolahnya akan menjadi setiap hari. Saat di PG, dia sekolah hanya seminggu 3 kali senin-rabu-jumat.

 

*** Tulisan ini dibuat sebagai apresiasi pada sekolah anakku yang meminta bantuan untuk mempromosikan sekolah ini. “Kami sekolah negeri, tidak bisa promosi besar-besaran seperti sekolah lain. Jika ibu-ibu merasa puas dengan sekolah di sini, tolong informasikan kepada kenalan atau teman lainnya,” begitu pesan bu guru. Baiklah…:D

Jangan Pojokkan Mereka….

ImageBertemu dengan seorang teman lama, teman curhat di masa lalu… saat sama-sama masih melajang. Hampir tidak ada yang berubah dalam cara kami berbincang, kalau sudah bertemu.. sulit untuk berhenti bicara. Banyak hal yang kami bahas… mulai hal-hal serius, hingga hal-hal remeh temeh. Bahkan dulu, saking serunya, kami menjadi satu-satunya pengunjung di sebuah restoran cepat saji yang buka 24 jam… kami, dua perempuan, duduk di tengah malam, ngobrol tak henti-hentinya. Sampai akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Itu pun masih belum cukup, di depan rumahnya, kami masih berdiskusi hingga satu jam lamanya… Luar biasa… ketahanan bicara kami, terutama hehehe…

Bertemu lagi, relatif tak ada yang berubah. Mungkin, bedanya, kini saya sudah berkeluarga dengan seorang anak perempuan berusia hampir empat tahun sementara teman ini masih melajang.

Ngobrol masih panjang, banyak cerita dan seru… Namun karena saya bilang bahwa saya janji pada anak saya untuk hanya “seperlunya” saja, maka pembicaraan pun tak sepanjang dulu…

Di sela perbincangan tersebut, saya terkesan dengan salah satu kisah dia. Katanya, “aku pernah bohong sama sopir taksi.. aku bilang, anakku dua…”

Saya tertawa mendengarnya sembari penasaran, mengapa ia melakukan hal tersebut?

Berceritalah dirinya mengenai obrolan dengan seorang supir taksi yang ditumpanginya. Membahas mengenai orang yang dengan mudah membunuh janin yang dilahirkan tanpa kehendak orangtuanya sementara banyak pasangan (menikah) yang berharap dikaruniai momongan. Lalu tercetuslah pertanyaan, “Kalo ibu, anaknya berapa?” dan ia pun spontan menjawab “dua…”

Alasannya, “aku capek.. kalo bilang tidak atau belum menikah, pasti panjang urusannya. Mereka biasanya menuding kenapa tidak menikah, mengejar karierlah, bla..bla… seperti yang dulu sering kita diskusikan…”

Hehehe… saya tertawa mendengarnya. Yup, dulu… kami sering berdiskusi mengapa kami belum juga bertemu dengan pasangan hidup kami.. bermacam teori dan kemungkinan kami bahas. Yang intinya adalah, kami ingin sekali bertemu dengan sang belahan jiwa, tetapi kenapa nggak juga bertemu…padahal kami tidak pilih-pilih, tidak melihat ini dan itu terlalu detail…dan seterusnya…

Lalu untuk apa saya menulis ini?

Saya hanya ingin mengingatkan, jangan pojokkan mereka… wanita berusia matang yang belum menikah. Sebagian besar dari mereka, sama sekali tidak merencanakan untuk tidak menikah… mereka hanya belum bertemu dengan pasangan jiwanya. Mereka juga berusaha, berjuang dan bertanya-tanya juga, sama seperti Anda, mengapa belum juga dipertemukan dengan sang belahan jiwa….

Jadi jangan tambah “beban” mereka dengan pertanyaan atau mungkin tudingan, tentang satus lajang mereka. Jangan menuduh bahwa mereka tidak berusaha… mereka pasti berusaha, mereka juga senantiasa berdoa.. hingga mungkin dihinggapi rasa letih, sampai kapan? Jika mereka mencari cara untuk “melupakan” hal tersebut, jangan salahkan mereka.. Lagipula masih banyak hal lain di luar sana yang bisa dilakukan ketimbang hanya sekadar menunggu sang belahan jiwa.

Saya bisa bicara begini juga karena saya pernah di posisi mereka. Untuk ukuran orang Indonesia, saya dibilang terlambat menikah. Ketika teman-teman saya sudah mulai menimang anak, saya masih melajang. Makanya saat ini, sebagian teman saya anaknya sudah duduk di bangku SMP bahkan sebagian ada yang hampir kuliah, tetapi anak saya masih balita…

Saya mengerti betul pertanyaan, tudingan atau tuduhan yang disampaikan.. mungkin para penanya tak bermaksud menuding, tak bermaksud menuduh.. tetapi jika kita tak pernah mengalami situasi tersebut, akan sangat sulit memahaminya…

Bukan.. bukan sok bijaksana, tetapi marilah kita lebih bersikap terbuka.. ada orang yang diuji kesabarannya dengan kekurangan materi, dengan persoalan keluarga, dengan masalah yang beragam tetapi ada juga yang diuji dengan belum dipertemukan dengan belahan jiwanya. Jadi, bagi sebagian wanita, itu memang bukan pilihan.. itu ujian kesabaran.. Jadi jangan tuding mereka, jangan pojokkan mereka. Jangan pula bergunjing jika mereka terlihat bahagia dengan kesendiriannya, sebab itu hanya cara mereka untuk menikmati kehidupan yang mereka miliki… sama seperti kita… Yuk, lebih saling menghargai…

 

sumber gambar : http://www.cartoonstock.com/directory/s/single_women.asp

Mari Beralih ke Bank Syariah

Islamic-Finance7

Apa resolusi Anda di tahun baru ini? Kalau belum ada atau belum menemukan sesuatu yang membuat Anda akan berkomitmen dengan serius, mengapa tidak melakukan resolusi yang berkaitan dengan transaksi keuangan Anda dengan beralih ke bank syariah untuk aktivitas ekonomi harian Anda. Resolusi ini akan bermanfaat secara jangka panjang karena pilihan untuk beralih ke transaksi dengan sistem syariah memberikan banyak keuntungan bagi Anda, baik Muslim maupun non Muslim.

Mengapa beralih ke bank syariah? Di masa lalu, melakukan transaksi perbankan seringkali identik dengan pergi ke suatu bank dan membicarakan mengenai jaminan, kredit dan bunga. Di masa kini, ada pilihan untuk tidak sekadar membicarakan ketiga hal tersebut. Ada pilihan lain seperti mem bicarakan rencana investasi yang melibatkan perbankan, sistem bagi hasil yang lebih adil, peluang untuk menggadaikan emas di bank serta kemungkinan melakukan aktivitas ekonomi lainnya.

Berbagai aktivitas itu menjadi mungkin untuk dilakukan sejak beroperasinya perbankan syariah di Indonesia. Kehadiran perbankan syariah sendiri mendapatkan momentumnya setelah terjadi krisis moneter yang mengguncang perekonomian Indonesia pada 1997-1998. Kala itu, puluhan bank konvensional di Indonesia tumbang dan perlu bantuan dari pemerintah. Namun bagi bank syariah yang ketika itu baru ada satu, momen krisis itu menjadi bukti bahwa sistem ekonomi syariah ternyata lebih tahan hantaman badai krisis ekonomi.

Sejak itu, kehadiran perbankan syariah di negeri ini seperti jamur di musim hujan. Tumbuh subur dan menarik untuk diperkembangkan. Sayangnya, minat masyarakat di negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim ini ternyata tak sejalan dengan semangat para praktisi perbankan yang menggebu dalam mengembangkan sistem tersebut.

Belasan tahun berlalu, pangsa pasar perbankan syariah tak beranjak banyak. Menurut data dari Bank Indonesia, hingga Oktober 2013 pangsa pasar perbankan syariah dalam peta perbankan nasional adalah 4,8 persen. Jumlah rekening dana pihak ketiga (DPK) perbankan syariah sebanyak 12 juta rekening atau 9,2 persen dari total rekening perbankan nasional. Sementara total pembiayaan perbankan syariah mencapai Rp 179,3 triliun dan total simpanan adalah Rp 174 triliun.

Lalu apa sebenarnya yang membedakan antara bank syariah dan bank konvensional? Perbedaan utama adalah sistem yang diberlakukan, yaitu perbankan syariah menerapkan prinsip  bagi hasil untuk semua transaksi keuangan yang dikelolanya sementara perbankan konvensional menerapkan sistem bunga. Karena prinsip bagi hasil itulah maka sistem ekonomi syariah menjadi lebih menguntungkan bagi kedua belah pihak – bank dan konsumen/masyarakat. Sistem bagi hasil juga mendorong terjadinya transparansi dalam penghitungan serta mendorong perilaku yang jujur. Karena itu pula, sistem ini tidak hanya bermanfaat untuk nasabah Muslim, tetapi juga nasabah non Muslim yang menginginkan perlakuan yang adil, jujur dan transparan dari institusi keuangan.

Sistem bagi hasil yang diterapkan ini pun membuat para penabung atau peminjam di bank syariah menjadi “investor”  yang membantu perkembangan bahkan memperkuat bank tersebut. Sesuatu yang tidak terjadi dalam sistem perbankan konvensional.

Namun demikian, sebagian masyarakat beralasan bahwa perbankan syariah sulit untuk dijangkau. Jumlah banknya masih sedikit, jumlah mesin ATM yang bisa dijangkau juga masih terbatas serta layanan yang diberikan bank syariah pun tidak memberikan banyak pilihan. Padahal, tujuan orang bertransaksi di sebuah bank adalah demi kemudahan dan kelancaran kegiatan ekonominya. Tak heran jika orang menjadi enggan beralih ke perbankan syariah karena dinilai belum mampu menjawab kebutuhan mereka dalam bertransaksi keuangan. Benarkah demikian?

Jika pernyataan itu disampaikan 15 tahun yang lalu, mungkin memang demikian adanya. Tetapi saat ini, kondisi perbankan syariah sudah jauh berubah.Berbagai kelebihan yang dimiliki sistem keuangan berbasis Islam ini telah mendorong dibukanya banyak cabang dan unit perbankan syariah baru, baik di dalam maupun di luar negeri. Investor non-Muslim pun menilai bahwa sistem keuangan Islam – yang notabene adalah syariah – lebih menguntungkan karena lebih adil, lebih transparan dan lebih jujur dibandingkan sistem konvensional. Bahkan dalam kondisi tertentu, return yang diberikan sistem ekonomi Islam ini lebih menguntungkan.  

Banyaknya cabang dan unit dari bank syariah ini otomatis membuat perbankan syariah semakin dekat dengan masyarakat dan lebih mudah diakses. Dampak lanjutannya, kita bisa lebih mudah melakukan transaksi perbankan termasuk mengambil uang tunai dari mesin ATM. Saat ini telah banyak bank syariah yang bekerja sama dengan ATM bersama sehingga semakin memudahkan dalam pengambilan dana tunai.

Layanan yang diberikan oleh perbankan syariah pun sudah semakin beragam. Sudah  banyak bank syariah yang menerima pembayaran rekening telepon dan listrik sehingga memudahkan kewajiban untuk membayar tagihan. Kebutuhan akan layanan internet banking, kartu kredit dan debit juga sudah bisa dilayani. Bahkan, ada satu layanan perbankan syariah yang tidak dimiliki oleh perbankan konvensional, yaitu gadai emas. Kondisi mendesak yang kerap dialami para pengusaha skala kecil dan menengah bisa dibantu dengan layanan ini.

Bisa dibayangkan, jika kita mempunyai rekening di bank syariah maka semua kebutuhan transaksi keuangan kita bisa dilakukan di satu bank saja. Hal ini memudahkan kita dalam bertransaksi sekaligus membuat kita punya lebih banyak waktu untuk melakukan kegiatan penting lainnya karena waktu kita tak tersita hanya untuk transaksi keuangan semata.

Semua kelebihan itu masih ditambah lagi dengan kenyamanan bertransaksi bagi para Muslim. Pasalnya, sistem ini tidak menerapkan sistem riba yang diharamkan agama Islam. Sebagai Muslim yang berusaha menjalankan perintah agama sebaik-baiknya, maka kita pasti akan menghindari riba. Lalu, ada pula “bonus” berupa kesempatan untuk mengeluarkan infaq setiap kali selesai bertransaksi di mesin ATM bank syariah. Artinya, secara tidak langsung kita pun membantu kaum dhuafa yang membutuhkan.

Jadi, bagi Muslim, perbankan syariah tak hanya memudahkan urusan duniawi semata tetapi sekaligus membantu melaksanakan perintah agama yang berkaitan dengan muamalah dengan sesama manusia. Jadi, mari kita beralih ke bank syariah di tahun baru ini.

sumber foto : http://muslimvillage.com/2012/06/20/23950/is-islamic-finance-working/

Edukasi Antikorupsi dengan Pendidikan Formal dan Informal

Korupsi telah menjadi kata yang akrab dengan telinga orang Indonesia sejak beberapa tahun terakhir. Pasalnya, kasus korupsi yang terjadi di negeri gemah ripah loh jinawi ini sudah sedemikian parah sehingga masyarakat pun kesulitan untuk mengikuti sekaligus mengawasi perjalanan penanganan kasus korupsi tersebut satu per satu.

Menurut kamus bahasa Indonesia online, korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Dengan makna seperti itu, sesungguhnya korupsi sangatlah mudah dideteksi. Namun mengapa korupsi begitu mudah dilakukan dan pada waktu yang sama sulit sangat diberantas? Padahal, akibat korupsi yang dilakukan oleh banyak pihak – mulai dari pejabat tinggi, aparat hukum hingga pegawai rendahan – telah merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dampak lebih jauh adalah kesejahteraan ekonomi masyarakat luas pun terabaikan.

 

Peraturan Perundangan

Komitmen untuk memberantas korupsi, bisa dilihat dari adanya peraturan yang menaungi kegiatan tersebut dalam bentuk perundang-undangan. Hal ini karena setiap tindakan formal memerlukan payung hukum yang jelas agar mempunyai kekuatan hukum tetap.

Indonesia sudah memiliki cukup banyak Undang-Undang (UU) mapun aturan di bawahnya berkaitan dengan antikorupsi. Mulai dari UU pemberantasan tindak pidana korupsi, UU antikorupsi, UU antisuap hingga UU perlindungan saksi dan korban. Aturan di bawahnya pun cukup lengkap dengan adanya peraturan pemerintah, inpres, keppres, hingga surat edaran.

Namun tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi masih jauh dari harapan. Pengungkapan berbagai kasus korupsi yang diusung media massa, hanya memberikan sedikit efek jera bagi masyarakat lainnya. Hal tersebut bukan berarti KPK gagal dalam melaksanakan tugasnya, namun sosialisasi mengenai peraturan perundangan yang ada masih terbilang minim. Akibatnya masih banyak yang tidak mengetahui aturan-aturan tersebut. Di saat yang sama, para pelaku korupsi pun bisa bersembunyi dengan leluasa. Selain itu, beragamnya pemahaman masyarakat mengenai arti atau makna kata ‘korupsi’ telah menyebabkan banyak kasus korupsi tidak terungkap.

Ada juga kalangan yang mengerti aturan antikorupsi tetapi merasa tak berdaya jika harus ‘melawan’ seorang diri sekalipun ada payung hukum yang akan melindunginya. Ketiadaan partner dalam pemberantasan korupsi telah menimbulkan keengganan untuk terlibat lebih aktif. Kendala lainnya adalah, masyarakat tidak tahu cara memulai pencegahan dan pemberantasan korupsi tersebut.

 

Pendidikan formal dan informal

Dengan melihat berbagai masalah di atas, peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi menjadi hal yang mutlak. Melibatkan masyarakat dalam setiap upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi akan memberikan hasil yang lebih optimal. Apalagi jika yang dilibatkan adalah seluruh anggota keluarga, mulai dari anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) bahkan taman kanak-kanak (TK) hingga orang tua, kakek nenek bahkan pembantu rumah tangga.

Ada beragam cara untuk melibatkan masyarakat secara aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Salah satu yang terpenting adalah melalui pendidikan, baik formal maupun informal.

Pendidikan formal yang dimaksudkan adalah pendidikan antikorupsi bagi anak-anak usia sekolah, terutama di tingkat sekolah dasar (SD). Tujuannya untuk menanamkan pemahaman dan pengertian bahwa korupsi adalah tindakan tercela dan berdosa. Fokus pada anak-anak merupakan salah satu upaya untuk mempersiapkan generasi mendatang yang lebih baik. Apalagi, pendidikan bagi anak-anak di usia muda  akan jauh lebih mudah diserap sebab secara umum mereka belum terkontaminasi oleh berbagai hal. Mengajari anak-anak tentang prinsip-prinsip antikorupsi akan menanamkan benih kebajikan yang diharapkan bisa terus diingat hingga ia kelak dewasa.

Tentu saja diperlukan formula khusus untuk menerapkan ide tersebut di dunia pendidikan Indonesia. Karena itu, KPK perlu bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan Nasional dan lembaga terkait lainnya untuk duduk bersama dan merumuskan berbagai bentuk rencana sosialisasi dan pendidikan antikorupsi tersebut. Suatu formula yang mengedukasi tetapi tidak membosankan.

 Cara kedua adalah dengan pendidikan informal yang  merangkul pemuka agama untuk menyosialisasikan pencegahan dan pemberantasan korupsi. Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, ulama atau kiai mempunyai kedudukan yang penting. Nilai-nilai dan ajaran Islam yang universal bisa diterapkan untuk mendidik masyarakat agar paham dan menjauhi korupsi. Secara teknis, para ulama dan kiai diminta untuk mengagendakan materi ceramah atau pokok bahasan mengenai antikorupsi dikaitkan dengan ajaran agama. Dengan demikian, masyarakat menjadi lebih paham bahwa menghindari korupsi adalah pelaksanaan ajaran agama juga. Sementara media untuk menyosialisasikan  ‘haramnya korupsi’ itu bisa melalui khotbah jumat, ceramah agama secara berkala di masjid/mushala maupun kajian ibu-ibu majelis taklim.

Islam adalah agama yang tidak hanya menekankan aspek ibadah ritual tetapi juga memberikan perhatian besar pada pelaksanaan ibadah sosial. Karena itu, melakukan sosialisasi dan ajakan untuk mencegah dan memberantas korupsi bisa dilakukan oleh para kiai atau ulama secara terus-menerus. KPK perlu membuat kerja sama dengan MUI maupun institusi keagamaan lainnya untuk membuat rumusan agar materi antikorupsi bisa diagendakan secara berkala oleh pemuka agama saat bertatap muka dengan masyarakat.

Dengan sosialiasi yang gencar dan berkesinambungan, diharapkan pesan antikorupsi bisa diterima masyarakat dalam waktu cepat. Dengan sosialisasi tersebut, masyarakat akhirnya tak segan melaporkan tindakan yang dicurigai sebagai perilaku korupsi, karena mereka tahu bahwa mereka mempunyai hak sekaligus kewajiban untuk mencegah dan melaporkannya.

Sinergi antara pendidikan formal dan informal untuk mencegah perilaku korupsi akan membuahkan hasil yang lebih baik sebab yang menerima pesan tak hanya satu kelompok dalam keluarga tetapi seluruh anggota keluarga. Jika sudah demikian, kita bisa berharap bahwa korupsi di Indonesia bisa ditekan hingga level serendah mungkin.

 

sumber foto :
1. http://voices-against-corruption.ning.com/profiles/blogs/youths-perceptions-and
2. http://voices-against-corruption.ning.com/profiles/blogs/youths-perceptions-and
3. http://aparaturnegara.bappenas.go.id/new/berita-248-ini-10-kementerian-dengan-inisiatif-antikorupsi-terbaik.html

Cerita Nggak Penting soal Ponsel yang harus berubah

Sejak lama, saya bukanlah pengikut mode. Jika kebetulan mode (sepatu, baju, kerudung, sandal, komputer, tas, kamera, telepon seluler/ponsel, mobil atau barang lainnya) yang saya pilih sedang ‘in’maka itu suatu kebetulan belaka. Saya lebih suka melihat sesuatu dari fungsinya….

Namun kini, ada suatu kebutuhan untuk membeli ponsel baru… dan barang itu bernama blackberry ! bukan karena ikut-ikutan tetapi ada kebutuhan pekerjaan…

Saya teringat, awal 2009 silam.. sekitar dua minggu setelah saya tiba di Brisbane, Australia untuk memulai perjalanan studi saya di negeri kangguru. Ada peluang untuk membeli ponsel baru sebagai mahasiswa internasional – program murah meriah, kenapa nggak dimanfaatkan. Lalu saya mulai memilah-milih jenis ponsel… membandingkan di internet dan hati saya terkesan pada nokia E71. Kala itu, di Indonesia sedang mulai booming yang namanya blackberry alias BB.

Ketika saya tiba di toko penjual ponsel yang punya program khusus untuk mahasiswa internasional itu, saya pun bertanya pada seorang petugas di gerai itu, mengenai pilihan dan perbandingan, apakah sebaiknya saya beli nokia yang saya taksir atau beli BB.Dengan tegas sang petugas menjawab “pilih nokia dong..semuanya lebih unggul”. Dan saya pun mengikuti sarannya…

Tak lama kemudian, ponsel tersebut memang laku di pasaran.. banyak yang pake, khususnya di lingkungan saya di kampus dan sekitarnya. Sementara BB tak kunjung terlihat penggunanya.. Kala itu, saya berpikir, saya tak salah pilih..

Kemudian, waktu berlalu…saya memperhatikan dari FB, banyak sekali teman-teman di Indonesia yang menggunakan BB… sampai-sampai saya posting status pertanyaan di wall, ‘apakah semua orang di Indonesia pakai BB?” dan jawaban yang saya terima cukup beragam.. yang intinya, ‘enggak dong’

Namun memang pertanyaan saya didasari oleh ketidaktahuan bahwa perkembangan teknologi informasi di Indonesia sangat pesat dalam setahun itu..sehingga hampir semua ponsel bisa mengakses internet, biayapun jauh lebih murah.. di sisi lain, booming BB pun kian menggila…

Kondisi itu berbeda dengan yang saya lihat dan alami selama dua tahun di Australia. Orang menggunakan ponsel sesuai kebutuhan,, banyak yang ponselnya model jadul…tapi tetap dipakai untuk berkomunikasi.. kalau mau internetan, ya pake laptop ato komputer saja, toh aksesnya sudah sangat mudah dan cepat… semua komputer di kampus boleh dibilang terhubung dengan internet, kalau tidak, maka hampir semua wilayah sudah ada akses wi-fi.. jadi sangat mudah dan nyaman, tanpa harus punya ponsel yang supercanggih…:)

Penjual ponsel pun tidak “gila-gilaan” menawarkan produknya. Saya teringat, seorang teman baru datang dari Indonesia.. dia beli nomor lokal Australia untuk ponselnya. Lalu sang petugas menawari dia untuk ganti ponsel, karena itu tadi..program untuk mahasiswa. Tapi teman saya bilang, ponselnya masih layak. Si petugas masih mencoba, “barangkali mau beli yang baru, mungkin model yang anda punya sudah lama..”. lalu teman saya menunjukkan ponsel dia, dan bertanya “apakah ini sudah lama?” dengan segera sang petugas menjawab “ohh.. model ini masih terbilang baru”. Kalo di Indo, barangkali sang petugas akan mengatakan hal yang berbeda 🙂

Akhir 2010, saat saya tiba di Bandung lagi setelah selesai studi. Saya tetap setia dengan ponsel saya, hanya perlu membeli batre baru sebab sudah soak… tak apalah, toh sudah 2 tahun. Sementara penampilan fisik ponsel saya masih oke.jadi saya tidak melihat alasan untuk menggantinya. Tetapi kemudian saya menerima banyak permintaan untuk memberikan nomor PIN…Hey, saya tidak punya PIN yang bisa dibagi-bagi.. mengutip seorang teman,”Ada PIN ATM, tapi kan tidak untuk dibagi-bagikan hehehe”

Sekembali ke Indonesia, saya memang lebih memprioritaskan anak saya yang masih perlu ASI dan berusia belum dua tahun. Jadi, saya mencari pekerjaan yang bisa saya kerjakan di rumah. Secara umum saya bekerja dari rumah, kirim berita dari rumah karena bisa mengakses internet dengan mudah, sesekali saya keluar rumah untuk mengajar.. karena itu, saya merasa belum perlu mengganti ponsel saya.

Tapi kini, karena ada pekerjaan baru yang membutuhkan komunikasi lebih intens, tampaknya saya harus mengganti ponsel saya… dan mau tidak mau, saya harus membeli BB… sebab kalo bukan BB, saya tak perlu ganti ponsel…:D

Jadi begitulah… sekarang saya ganti ponsel.. kalo ada yang mau minta nomor PIN, saya sudah punya sekarang 😀
Tapi kalau kemudian saya dikirimi promo dan sejenisnya, ya jangan marah kalo ndak saya buka..hehehe

sumber foto :

Nokia E71 Mobile Phone


http://shop.crackberry.com/blackberry-bold-9000-accessories.htm
http://depositphotos.com/3989643/stock-illustration-Cartoon-Cell-Phone.html

Memoar Seorang Odapus (Resensi Buku)

Kami tiba di mulut gang. Mas Eko menghentikan langkahnya. Suara kendaraan terdengar lebih riuh. Angin yang tak lagi terjaga dinding-dinding gang bertiup lebih kuat. Aku berpindah ke sisi Mas Eko. Menggamit tangannya. Sengaja semesra mungkin lalu berbisik,”Mas, Mas, aku sayang sekali sama Mas Eko…”

“Ah, apa, sih, kamu, norak amat. Di jalanan begini, lagi,” sahutnya dingin.(halaman 68).

Kutipan kalimat di atas seperti penggalan kisah dalam novel romantic. Namun kisah itu merupakan memoar salah satu penulis buku tersebut, Dian Syarief, mengenai kisah hidupnya yang mengalami kebutaan akibat penyakit Lupus yang dialaminya.

Lupus adalah penyakit autoimun, semacam alergi pada tubuh kita sendiri. Hal tersebut terjadi saat zat yang dibentuk tubuh, yang seharusnya digunakan untuk melawan zat asing, malah berbalik melawan tubuh sendiri. Karena itu pulalah, Lupus sering disebut sebagai penyakit seribu wajah dan sering terbaca seperti penyakit lain (halaman 17).

Lupus belum diketahui obatnya dan orang yang terdiagnosis penyakit ini harus menjalani pengobatan seumur hidup. Jika Lupusnya sedang tidak aktif, odapus (orang dengan Lupus) bisa beraktivitas seperti biasa. Bila sebaliknya, odapus akan mengalami sakit yang beragam jenisnya, tidak sama persis antara satu dan lainnya dengan efek yang berbeda pula.Lupus umumnya menyerang wanita berusia produktif tapi ada pula para odapus pria meskipun jumlahnya sangat sedikit.

Dian Syarief adalah mantan karyawati salah satu bank swasta nasional di Jakarta. Ia berhenti bekerja karena mengidap Lupus sejak 1999. Pengobatan Lupus yang dijalaninya menimbulkan efek samping yang berujung pada hilangnya 95 persen penglihatan dia, sehingga selain odapus ia pun seorang dengan penglihatan terbatas.

Namun, Dian tetap aktif membantu sesama odapus dan low vision melalui yayasan bernama Syamsi Dhuha Foundation (SDF) yang didirikan bersama suaminya Eko P. Pratomo. Yayasan yang berpusat di Bandung itu belum lama ini meraih penghargaan Sasakawa HealthPrize 2012 dari WHO di Jenewa Swiss.

Buku ini menceritakan kisah hidup sang penulis buku sejak didiagnosis terkena penyakit Lupus serta beragam episode dalam hidupnya yang berubah drastis sejak menjadi odapus. Dari kisah-kisah itu, pembaca bisa ikut merenung dan memikirkan hikmah dari setiap peristiwa yang dialami oleh penulis atau tokoh lain di dalam buku tersebut. Sebagai sebuah memoar, buku ini cukup lengkap. Ada kisah mengharu biru, kisah lucu, kisah cinta yang tak lekang oleh waktu, hingga rasa bangga karena mendapat pengakuan di tingkat internasional.

Buku ini tak melulu bercerita tentang lupus tapi juga mengenai semangat hidup, tentang harapan yang bisa tumbuh di mana saja, hingga perjuangan tak kenal lelah. @ ASatriani, penulis ‘I Can Get A Scholarship Why Can’t You?’ dimuat di Rubrik Resensi (halaman 13) Harian Detik Sabtu 14 Juli 2012.

JUDUL BUKU : Sunrise Serenade

PENULIS : Dian Syarief Pratomo & Sundea

PENERBIT : Gagas Media

CETAKAN : Pertama, 2012

TEBAL : 289 hlm

Apakah Kita Keliru Memaknai Ramadhan?

Image

Kok tumben, lama ke pasarnya?” tanyaku kepada ibuku tadi pagi.

“Bingung milih,” sahut beliau.

Biasanya, kalau ke pasar pagi-pagi, ibuku hanya membutuhkan waktu sebentar karena pasar Kosambi – yang letasknya tak jauh dari rumah kami — di pagi hari adalah pasar tumpah sehingga para pedagangnya berjualan di tepi jalan raya bahkan memakan sebagian jalan raya – makanya disebut pasar tumpah, sebab tumpah ke jalanan.  Hal ini mempermudah untuk berbelanja sebab tak perlu masuk ke dalam bangunan/gedung pasar.

Tapi tadi pagi, beliau membutuhkan waktu yang lebih lama… makanya aku bertanya.

Mendengar jawaban beliau, aku tersenyum.

“Bingung milih, semua mahal-mahal… harga-harga naik gila-gilaan,” sambung ibu seraya menyebutkan beberapa jenis bahan makanan yang naik drasti hingga mencapai Rp 5 ribu rupiah per kg, seperti ayam. Sementara sayuran pun tak mau kalah, ikutan-ikutan melonjak harganya.

“Dulu nggak begini-begini banget kalo mau puasa, kok sekarang begini..” ibu menambahkan. Aku terdiam, tak mau menjawab.

Justru aku merenung saat mendengar semua itu. Sejak beberapa hari ini memang soal harga-harga yang naik menjadi perbincangan para ibu rumah tangga. Selalu, setiap kali menjelang Ramadhan harga-harga akan berlomba-lomba naik, kadang tak terkendali.

Iya, mungkin naiknya seribu perak atau paling banter 5 ribu perak saja, tapi ingat..semuanya naik. Jadi jatah belanja per hari misalnya Rp 30 ribu, tak akan cukup untuk membeli bahan makanan yang sama jika semua harga naik. Kenaikan seribu atau dua ribu rupiah adalah hal besar sebab makanan adalah kebutuhan pokok sehari-hari di sisi lain pembelian bahan makanan tersebut tetap harus dilakukan.

Memang ada cara lain untuk mengatasi, yakni mengganti menu makanan kita. Jika semula ayam dan telur, maka diganti dengan tempe saja atau tahu saja… atau porsinya dikurangi, tetapi tetap saja..semua harganya naik!

Image

Pikiranku menerawang. Mengapa setiap Ramadhan tiba, harga-harga naik? Mengapa menjelang Lebaran, harga-harga naik lagi? Uang THR (tunjangan hari raya) yang diterima, seringkali tak berbekas karena untuk membeli bahan makanan dan sedikit kue saja, sudah habis. Belum lagi jika anak dan keponakan ingin membeli baju baru… Ludes deh uang THR itu…

Aku berpikir, kemungkinan semua ini disebabkan oleh kesalahan kita sendiri sebagai umat Islam, khususnya sebagai konsumen. Kita telah keliru memaknai Ramadhan. Menganggap bahwa keistimewaan  Ramadhan plus Lebaran harus dirayakan dengan segala yang konsumtif. Padahal agama mengajarkan, keistimewaan Ramadhan itu karena keutamaan beribadah di dalam bulan suci ini.

Akibatnya, menjelang Ramadhan kita segera membeli banyak bahan makanan sebab akan melakukan tradisi ‘munggahan’ kalau di budaya sunda – kebiasaan makan bersama sebelum bulan Ramadhan tiba. Lihat saja, menjelang ramadhan tiba, banyak majelis pengajian mengadakan acara makan bersama, kantor-kantor atau institusi melakukan kegiatan piknik bersama saat menjelang bulan ramadhan. “Kan ntar sebulan kita ga makan siang, ga bisa pergi berenang siang hari, ga bisa makan-makan siang hari bareng teman-teman…” dan seterusnya…kira-kira begitu alasannya.

Atau karena hari pertama Ramadhan, maka menu makanan berbuka dan untuk sahur haruslah istimewa. Jadilah keinginan tersebut dijawab dengan kenaikan harga oleh para pedagang.

Saat Lebaran juga dianggap sebagai hari kebebasan mengonsumsi segala macam dan rumah harus dipenuhi dengan makanan enak-enak sehingga lagi-lagi harga-harga naik.Pakaian juga harus baru… Memang agama mengajarkan untuk mengenakan pakaian yang indah saat shalat iedul fitri, tetapi tak dikatakan harus baru kan?

Kita masih keliru memaknai Ramadhan dan Lebaran dengan hal-hal yang bersifat fisik dan konsumtif. Akibatnya itu tadi, kita dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang pandai mengambil keuntungan dari situasi….wallahu alam.

 

 sumber foto :

1. http://submission.org/#/d/Fasting.html

2. http://islamstory.com/en/node/35122

Diapers untuk Anakku

Hanya sekadar berbagi pengalaman mengenai penggunaan diapers untuk anak. Selama ini, diapers dikatakan tidak sehat dan merusak kulit anak-anak kita yang mengenakannya. Selain itu, penggunaan diapers juga mahal sebab harganya yang memang lumayan menguras isi kantong 🙂
Namun sebagai seorang ibu yang sambil bekerja – meskipun hanya bekerja di rumah dan sesekali ke luar rumah – tetapi aku juga harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga, maka tak ada pilihan lain selain menggunakan diapers untuk anakku yang saat ini usianya 22 bulan.

Sejak lahir, anakku tak kenal yang namanya popok. Ibuku sering berkomentar,”Aneh..punya bayi tapi baju cuciannya kok sedikit.” Hehehe, itulah paradigm orang dulu.. Yang namanya punya bayi pasti repot, ngurusin cucian yang sering basah karena anak kita ngompol, bajunya juga kotor kena makanan dan sebagainya. Pokoknya repot dan bikin stress deh kalo punya anak bayi..

Tapi ibuku tak melihat itu dariku. Salah satu alasannya adalah karena anakku menggunakan diapers setiap saat selama 24 jam – boleh dibilang begitu. Ia hanya tak mengenakan diapers ketika mandi.. Kadang-kadang, beberapa menit sebelum mandi, aku biarkan dia tak pakai diapers juga. Ada risikonya karena anak kita bisa saja pipis ketika itu.. dan itu beberapa kali terjadi 🙂

Apakah tidak kasihan, anak pake diapers terus.. kan kulitnya bisa iritasi? Begitu pertanyaan beberapa orang. Aku bilang, Alhamdulillah anakku hampir tak pernah mengalami iritasi kulit akibat diapers yang dikenakannya. Ini karena aku juga nggak sembarangan dalam menggunakan diapers ke dia.

Pertama, aku memilih diapers yang nyaman untuk dia. Memang harganya lebih mahal tetapi kan kesehatan anak lebih penting. Aku dan suami bekerja juga salah satunya untuk anak kan.. jadi kenapa musti sayang membeli diapers yang baik untuk dia.. yang nyaman untuk dia..

Kedua, meskipun diapersnya nyaman, aku tetap menggantinya beberapa jam sekali. Meskipun dikatakan bahwa diapers bisa tahan 10 jam, aku tak pernah mempraktekkannya kecuali untuk tidur malam. Jadi kalau pagi hari anakku mandi pukul 8 pagi dan ganti diapers, maka pukul 13 atau sekitar pukul itu, aku akan mengganti diapersnya. Lepas dari apakah anakku pup atau tidak, pokoknya tengah hari aku ganti diapersnya.

Nanti sore dia akan mandi sore, saat itu aku juga ganti diapersnya. Kadang-kadang anakku tidak pipis selama habis ganti siang hari ke sore hari… aku cek dengan seksama, apakah diapersnya basah atau tidak. Jika basah, meskipun sedikit, ya aku ganti…tetapi kalo kering, aku pakaikan lagi.

Saat ini anakku pup kerap kali sore atau malam setelah magrib, jadi setelah itu dia akan ganti diapers lagi. Tapi jika dia tidak pup, aku akan mengganti diapers dia sebelum dia tidur. Misalnya dia sudah kelihatan ngantuk pukul 8 malam, ya aku cepet2 ganti. Tapi kalo belum, biasanya aku menunggu sampai pukul 9 malam dan aku ganti diapersnya.

Itu akan dipakai anakku sampai pagi hari saat dia bangun. Kalau dia bangunnya pukul 6 atau tujuh pagi, aku akan meminta dia uuntuk berganti diapers tetapi jika dia bangun tidur pukul 8, langsung aku ajak dia mandi. Setelah mandi tentu saja harus ganti diapers.

Jadi sehari, anakku berganti diapers antara 4 sampai 6 kali tergantung pupnya.

Mahal dong? Yaa.. tergantung dari mana menilainya. Tapi aku juga menggunakan trik lain. Yakni, mempunyai dua jenis diapers. Yang satu yang berkualitas bagus dan anakku cocok, yakni yang harganya sekitar Rp 48 ribu untuk 17 buah diapers. Sementara yang satunya lagi, harganya separuhnya.
Memang yang lebih murah, akan membuat iritasi kulit jika dikenakan terlalu lama. Tapi aku menyiapkan krim untuk mengobatinya. Jadi begitu aku lihat agak merah di selangkangan dan perut anakku, langsung aku oleskan krim tersebut. Selain itu, trik yang lain adalah, aku hanya memberikan diapers yang lebih murah itu dikenakan hanya beberapa jam saja. Misalnya, untuk pagi ketika dia bangun tidur pukul 6 pagi dan akan mandi pukul 8 pagi. Jadi hanya dua jam. Atau saat tengah hari sekitar pukul 13 siang sampai menjelang mandi sore. Jadi paling lama 3 jam. Di luar itu, aku memilih diapers yang berkualitas baik untuk dikenakan.

Strategi ini cukup membantu sebab cukup meringankan biaya pembelian diapers. Dan anakku, Alhamdulillah, nyaris tak pernah mengalami iritasi kulit akibat diapers.. cucianku pun tak banyak, hanya seperti biasa saja…alhamdulillah..

Makanan Halal atau Meragukan

Beberapa hari lalu, suamiku membawa seplastik kue bolu yang bertuliskan ‘kek’ alias ‘cake’. Mungkin pemberinya ingin menghadiahkannya kepada anakku yang usianya masih 21 bulan itu. Tapi suamiku mengingatkan untuk mengecek bahan-bahan pembuatnya (ingredients) dari ‘kek’ tersebut. Pagi keesokan harinya, aku cek dan ternyata tidak mencantumkan label halal. Selain itu saat aku cek bahan-bahan pembuatnya, ada tulisan ‘emulsifier’ atau pengemulsi yang rentan bahan tidak halal.

Saat kuceritakan pada suamiku, iapun bilang bahwa ‘kek’ yang jumlahnya 10 bungkus kecil-kecil itu akan dibuangnya. Aku setuju saja. Namun ibuku bertanya, adikku juga ikut penasaran karena mendengar perbincangan antara suami dan aku. Mereka ikut mengecek.

Sejak tinggal di Australia, kami terbiasa untuk mengecek ingredients makanan yang akan kami konsumsi. Di sana, hal tersebut merupakan suatu yang ‘wajib’ sebagai bagian dari kehati-hatian sebagai muslim – bukan sok suci, tapi sebagai ikhtiar melaksanakan yang diperintahkan semampunya. Ketika kembali ke Bandung, kami masih kerap menerapkan hal tersebut terutama untuk makanan dalam kemasan yang kami ragukan penampilannya 🙂

Maksudnya, seperti ‘kek’ tadi… mereknya tidak terkenal, lalu bungkusannya juga agak unik. Meskipun produksi Tangerang, tapi ternyata itu tadi..setelah dicek seperti itu adanya. “Kita buang aja, kalo kita kasihkan ke orang lain, artinya kita pun memberikan makanan yang tidak jelas kehalalannya kepada orang lain,” demikian kesimpulan kami. Bahwa setelah dibuang ada yang memungut atau berminat, ya itu sudah di luar kuasa kami.

Soal di luar kuasa kami ini, jadi teringat obrolan via milis dengan teman beberapa waktu lalu. Seorang teman bertanya soal apakah makanan jenis x ini halal atau tidak. Minta pendapat teman-teman dan aku tertarik untuk memberikan masukan. Aku bilang, jika ragu, tinggalkan. Sementara teman lain mengatakan, kenapa tidak berbaik sangka, selama memang tak ada tulisannya babi atau bahan dari hewan tersebut, ya makan saja. Kemudian teman yang bertanya ini mengungkapkan bahwa saat itu dia dalam kondisi lapar berat dan tak ada makanan lain selain makanan x ini, jadi dia santap saja.

Dalam pandanganku, kalo kondisi seperti itu tentu lain persoalan. Dia tak menjelaskan sejak awal bahwa kondisinya seperti itu…hanya bertanya, bagaimana pendapat jika ada makanan yang meragukan. Padahal setahuku, dalam Islam diajarkan, jika memang terpaksa kita boleh memakan yang dilarang demi mempertahankan hidup. Tapi aku tak mau berpanjang-panjang menanggapinya…

Ahhh, memang akhirnya kembali kepada masing-masing orang dan keyakinannya. Aku dan keluarga kecilku, tak hendak bilang bahwa kami ini soleh dan taat kepada Allah swt sehingga meninggalkan semua yang meragukan. Tak persis demikian, sebab kami juga sangat banyak kekurangan dalam beribadah kepada Allah. Tapi kami berikhtiar dari yang bisa kami lakukan untuk melaksanakan perintahNya, kami coba lakukan yang terbaik dalam kapasitas kami.

Ada yang berpendapat bahwa semua hewan yang disembelih, asalkan itu bukan babi, dimasukkan dalam kategori halal. Sementara yang lain – temasuk aku dan keluargaku – lebih memilih untuk berhati-hati dengan hanya membeli daging halal di toko daging halal atau memilih makanan yang berlabel halal – saat di Australia terutama. Bahkan kemudian ternyata label halal itu disalahgunakan – artinya sebenarnya belum lulus uji kehalalan tetapi ditulis halal – menurutku, sebagai orang awam, kemampuan kita hanya sebatas itu. Jika ada yang berbohong dengan label halal itu, ya dia yang menanggung dosanya.

Memang ada pula yang berpendapat, label halal – terutama di Indonesia — dibuat ribet sehingga tak semua orang bisa mendapatkannya – terlalu banyak birokrasi dan sejenisnya. Sehingga, kata kelompok ini, untuk apa mempersulit diri dengan urusan seperti itu. Berbaik sangka saja, asalkan tidak ada babinya, maka insya Allah halal.

Untuk hal ini, aku teringat kata-kata anak dari seorang teman. Temanku ini, sangat doyan minum kopi dan oleh dokter dia dilarang minum kopi untuk menjaga kesehatannya. Namun tentu saja sulit untuk berhenti begitu saja. Kemudian anak perempuannya, berkata kurang lebih seperti ini,”Bu..tahan minum kopinya sekarang demi kesehatan ibu. Paling beberapa puluh tahun saja. Nanti di surga kalo orang lain berenang di kolam susu, ibu berenang di kolam kopi.”

Saat mendengar cerita tersebut, aku tersenyum dan salut pada anak ini, yang ketika itu usianya mungkin baru sepuluh tahun. Aku kemudian menganalogikan hal tersebut dalam kasus makanan halal… Mengapa kita tak bisa menahan diri untuk tidak makan makanan yang meragukan? Padahal yang dibolehkan dan jelas-jelas boleh itu sangat banyak ketimbang yang haram atau meragukan. Ini hanya pendapatku yang awam. Wallahu alam

sumber gambar :
1. http://vimeo.com/halal
2.http://blogs.reuters.com/faithworld/2012/02/20/french-far-right-turns-to-halal-meat-as-next-political-wedge-issue/
3. http://muslimvillage.com/id/2011/10/05/branding-halal-the-rise-of-the-young-muslim-consumer/

Semuanya berawal dari mimpi

Melihat ketiga buku saya yang diterbitkan hampir bersamaan, saya sendiri kadang nggak percaya. Bertanya-tanya sendiri, “Apa iya, aku udah nerbitin buku?” Norak banget yaa.. sementara orang lain sudah menerbitkan buku sejak lama, banyak pula.. sementara saya, baru tiga buku – itupun yang dua hanyalah penulis dan contributor—tapi sudah merasa gimana gitu..

Tapi, buat saya, ini adalah sebuah pencapaian yang luar biasa. Meskipun bekerja di media massa sejak belasan tahun lalu, biasa menerbitkan artikel berita atau ficer di koran tempat saya bekerja, tetapi bukan berarti membuat buku adalah suatu yang mudah. Karena saya menulis berita dan ficer sebagai kewajiban kerja. Sementara menulis buku, hal yang berbeda.

Lalu orang bertanya, apa rahasianya? Tak ada rahasia. Tetapi saya memang bermimpi untuk melakukannya. Sahabat saya, Airin, mengingatkan saya akan mimpi tersebut ketika buku pertama saya terbit.

“Saya ingat, kamu pernah bilang (di Australia) bahwa kamu ingin menulis buku. Now, your dream comes true,” katanya. Tiba-tiba saya jadi ingat lagi kejadian tersebut… beberapa kali saya memang mengatakan keinginan tersebut kepada dia, dan beberapa orang lainnya.

Bahwa kemudian itu terwujud secepat ini, saya pun tak menduganya. Maksud saya, buku pertama saya terbit hanya memerlukan waktu tiga bulan untuk proses editing dan cetaknya. Tapi memang, tulisan di buku tersebut adalah kumpulan tulisan saya di blog, jadi memang tak terlalu perlu waktu lama untuk mengumpulkannya.

Dan keinginan saya untuk membukukan tulisan di blog, sudah dimulai sejak saya menulis blog tersebut. Niat saya ketika itu, saya ingin berbagi pengalaman mencari beasiswa melalui blog… siapa tau kelak tulisan-tulisan di blog itu bisa dibukukan, dan Alhamdulillah, keinginan itu tercapai.

Sementara buku kedua dan ketiga, juga adalah karena impian saya. Karena saya ingin sekali bisa menulis buku, maka ketika seorang teman bercerita bahwa dia menulis buku, saya pun iseng-iseng menawarkan diri. kala itu saya sedang mengikuti program fellowship di singapura. Jadi proses penulisannya ya di sela-sela kegiatan fellowship yang berlangsung 3 bulan.

Buku ketiga, sebenarnya adalah buku pertama saya. Maksudnya, saya menulis artikel untuk buku ini sejak saya masih di Brisbane, masih mengerjakan thesis… ada tawaran untuk menuliskan pengalaman hidup yang berkesan di Australia oleh Forum Lingkar Pena (FLP) Australia. Saya (lagi-lagi iseng) mengirimkan pengalaman hamil dan melahirkan di BNE.

Ternyata dianggap layak untuk dipilih, setelah diperbaiki. Namun prosesnya agak lama.. sehingga saat saya balik ke Indonesia, buku tersebut belum juga terbit. Maka jadilah buku tentang beasiswa, yang lahir duluan…

Jadi, intinya.. bermimpilah dan kemudian susunlah langkah untuk menggapainya. Saya bermimpi sejak lama ingin menulis buku, sehingga keinginan itu menjadi sesuatu yang terbawa – baik sadar maupun tidak sadar – dan saya berusaha untuk menggapainya.

Mimpi saya yang lain masih banyak 🙂 dan saya pelan-pelan mulai mendekati mereka satu per satu insya Allah.. Bismillah..