Saat pembagian hasil belajar (raport) minggu lalu, sambil menunggu acara dimulai, seorang guru di sekolah anakku, menjelaskan mengenai beberapa hal terkait “kelebihan” sekolah tersebut. Hal ini mengingatkanku pada penjelasan serupa setahun yang lalu. Aku terkesan mendengarnya… sekaligus bersyukur karena mendapatkan sekolah yang cukup sesuai dengan harapanku. Padahal, dulu, saat aku mendaftarkan anakku ke sekolah tersebut, alasannya sederhana. Sekolah tersebut adalah sekolah negeri dan lokasinya dekat dengan tempat tinggal kami.
Sang guru menjelaskan bahwa sekolah ini merupakan satu-satunya sekolah taman kanak-kanak (TK) yang tidak pernah memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada murid-muridnya. “Di sini, semua anak senang karena bermain sambil belajar,” ujar sang guru di depan para orang tua murid – yang sebagian besar sibuk ngobrol sendiri hehehe.
Saat mendengar penjelasan tersebut, hatiku langsung berbunga. Bukan apa-apa, saat masuk ke sekolah ini, anakku baru berusia dua tahun dua bulan (2 tahun 2 bulan). Ia sendiri yang minta disekolahkan. Lumayan sulit juga meyakinkan sekolah-sekolah agar menerima anakku yang usianya belum 2,5 tahun itu. Bertanya ke beberapa PAUD dan kelompok bermain di kawasan dekat rumah, anakku ditolak karena masih terlalu kecil. Saat ke sekolah ini pun, staf administrasinya menolak karena lagi-lagi usia anakku terlalu muda. Katanya, usia minimal adalah 2,5 tahun yang berarti saat itu anakku kurang empat bulan. Namun aku meyakinkan bahwa anakku sudah siap untuk sekolah.
Akhirnya pihak administrasi dan beberapa guru memintaku bertemu dengan kepala sekolahnya. Beberapa hari kemudian, kami berhasil bertemu dengan ibu kepala sekolah yang cukup visioner. Saat aku menjelaskan maksudku untuk “menitipkan” anakku di sekolah tersebut, kepala sekolah langsung bilang,”oiya…tidak apa-apa. Bisa. Dia sudah kelihatan mandiri. Boleh (daftar) sekolah…. Tapi nanti agak lama di sininya yaa…”. Alhamdulillah, aku mengucapkan terima kasih. Tak masalah kalau anakku akan lama berada di sekolah tersebut, karena usianya masih muda saat masuk. Yang penting, rengekan anakku untuk bersekolah bisa dipenuhi.
Aku bukan orangtua yang selalu mengiyakan keinginan anakku karena aku dan suamiku bertekad untuk mendidiknya menjadi anak yang tidak manja. Tetapi, kalau dia merengek jam dua dini hari, ingin sekolah, dan itu dilakukan berhari-hari setiap hari, ya aku harus mencari solusinya. Karenanya saat kepala sekolah mengatakan anakku sudah siap untuk sekolah, aku lega sekali. Hal itu dibuktikan oleh anakku saat hari pertama sekolah. Jika banyak orangtua yang harus meyakinkan anak-anaknya bahwa sekolah itu menyenangkan, maka anakku justru sebaliknya.
Di hari pertama sekolah, saat aku antarkan.. ia langsung duduk di kursi di dalam kelasnya dan mengambil salah satu buku di rak buku. Saat aku menyelesaikan administrasi, dan menengoknya di dalam kelas. Ia hanya menoleh, melambaikan tangan dan berkata,”Ibu.. aku sekolah dulu ya.” Haduhhhh, anakku….ibu sudah membayangkan pelukanmu, ehh malah dicuekin hehehe…
Guru-guru di sekolah itu dan kepala sekolahnya dibuat heran dengan tingkah anakku. Kok bisa anak sekecil itu, sudah sangat mandiri… tak mau ditunggui orangtuanya di sekolah. Kepala sekolah mengatakan, baru kali ini ada anak yang bersikap seperti itu. Makanya saat akhir tahun ajaran, aku diminta untuk sharing kepada orangtua murid lainnya mengenai cara mendidik anakku sehingga mandiri. Waduhhhh, aku dan suamiku langsung bingung. Kami berdua tak pernah mendidiknya secara khusus. Apalagi banyak orangtua di sekolah tersebut yang punya anak lebih dari satu dan pasti sudah berpengalaman mengasuh anak.
Tapi karena dipaksa untuk sharing, tahun lalu saat akhir masa sekolah, aku bicara sedikit. Memang kami memberikan kesempatan pada anak kami untuk berkembang. Meskipun kecil, dia tetaplah pribadi yang utuh. Kami berusaha untuk menjelaskan sesuatu padanya dengan menghargainya sebagai seorang pribadi, bukan anak kecil. Karena itu, dia tak pernah cadel, karena kami tak mengajarinya untuk bicara seperti itu. Kami perbaiki bicaranya jika ia keliru dan tidak membiarkannya dalam kesalahan tersebut dengan alasan lucu kedengarannya, atau ahh ini kan anak kecil. Kami juga tak melarangnya yang masih berusia dua tahun untuk memakai baju sendiri atau kaos kaki sendiri, meskipun butuh waktu yang sangat lamaaaaa. Atau saat dia ingin makan sendiri, meskipun jadinya lantai penuh dengan nasi atau remeh makanan, kami izinkan sebab itu membantunya untuk menjadi mandiri. Soal nasi berantakan sih bisa disapu dan dipel 🙂
Kembali lagi ke sekolah ini, sang guru menjelaskan bahwa di kelompok bermain (play group) anak-anak memang hanya bermain, tidak belajar membaca atau menulis. Alhamdulillah, justru yang seperti ini yang aku cari. Banyak orang tua yang ingin anaknya pintar membaca dan menulis sejak TK sehingga dileskan privat, aku penganut aliran sebaliknya. Aku percaya bahwa semua ada waktunya. Apalagi sekarang ini beredar kajian bahwa anak di usia balita sebaiknya memang tak diajari menulis dan membaca. Hal ini sejalan juga dengan aturan Diknas yang melarang SD mensyaratkan kemampuan baca-tulis untuk anak yang masuk SD.
Sekolah ini, meskipun negeri tetapi menjadi sekolah taman kanak-kanak percontohan. Banyak kunjungan dari berbagai sekolah atau lembaga pendidikan dari berbagai kota di Indonesia, yan ingin melihat bagaimana cara belajar dan bermain di sekolah ini, kok bisa memberikan pendidikan tanpa membebani siswanya – alias tak ada PR untuk murid tetapi anak-anaknya tetap siap masuk SD saat usianya sudah memenuhi syarat untuk masuk SD.
Di sekolah ini, orangtua murid juga tak boleh masuk ke halaman sekolah saat jam belajar berjalan. Sang guru bercerita bahwa saat ada kunjungan dari salah satu sekolah dari luar Pulau Jawa, tamu tersebut heran melihatnya. “ini seperti bukan TK tetapi seperti sekolah orang dewasa. Tidak terdengar suara anak-anak saat jam pelajaran,” ujar sang tamu. Karena sekolah menerapkan pendidikan yang membuat anak-anak mau bersikap manis di dalam kelas. Begitu jam istirahat, terdengar suara anak-anak berteriak, berlari-lari dan bertingkah layaknya anak-anak usia playgroup dan taman kanak-kanak, ujar sang guru, barulah tamu-tamu tersebut percaya bahwa ini memang sekolah taman kanak-kanak 😀
Banyak orangtua murid dari lokasi yang cukup jauh dari sekolah ini menyekolahkan anaknya di sini, karena mengetahui reputasi sekolah ini dan juga kebijakan sang kepala sekolah. Aku bersyukur sekolah ini lokasinya dekat dengan tempat tinggal kami. Aku menulis ini, untuk memberikan pandangan bagi para orang tua di Bandung yang sering kebingungan mencari sekolah yang baik bagi anaknya, mungkin sekolah ini bisa menjadi salah satu alternatif. Sekolah negeri sehingga biayanya juga terjangkau, tetapi kualitas pendidikannya cukup bagus. Hingga saat ini anakku sudah dua tahun sekolah di sini, dan inshaAllah tahun ajaran baru nanti dia akan masuk kelas TK A alias kelas nol kecil…Pengalaman baru lagi buat dia karena sekolahnya akan menjadi setiap hari. Saat di PG, dia sekolah hanya seminggu 3 kali senin-rabu-jumat.
*** Tulisan ini dibuat sebagai apresiasi pada sekolah anakku yang meminta bantuan untuk mempromosikan sekolah ini. “Kami sekolah negeri, tidak bisa promosi besar-besaran seperti sekolah lain. Jika ibu-ibu merasa puas dengan sekolah di sini, tolong informasikan kepada kenalan atau teman lainnya,” begitu pesan bu guru. Baiklah…:D